Cikalpedia.id – Asap rokok bercampur aroma oli membentuk kabut tipis di bengkel kecil itu. Muso, lelaki bertubuh kekar dengan tangan kasar, tengah merunduk di bawah kap mobik tua. Keringat mengalir dari pelipisnya, namun ekspresinya tetap tenang, seperti biasa.
Bengkel Ketok Magic, miliknya, tidak hanya dikenal karena keahliannya membenahi mesin—tetapi juga karena keajaiban lain: tempat berlindung bagi mereka yang kelelahan menghadapi hidup.
Satu per satu teman lamanya datang. Dulu mereka adalah para survivor sejati. Memanjat tebing tanpa tali, menyeberangi sungai deras di malam hari, bertahan di tengah badai tanpa tenda. Tapi sekarang? Mereka tergagap saat surat cerai datang. Terdiam saat rekening menunjukkan saldo tinggal dua digit. Gemetar saat anak sakit, dan obat tidak terbeli.
- Gema yang Patah
Suatu sore, Gema datang. Wajahnya lusuh, ransel robek di punggung, mata sayu seperti tak tidur tiga hari. Ia pernah jadi pemimpin ekspedisi ke Gunung Ciremai, pendaki ulet yang bisa bertahan tiga hari tanpa logistik.
Tapi hari itu, dia terduduk diam di sudut bengkel, hanya menatap tanah.
“Kenapa, Gem?” tanya Muso sambil menyodorkan kopi hitam dalam gelas retak.
“Anak gue… butuh operasi. Sementara gue baru di-PHK. Gue… takut, So.”
Muso tak menjawab. Ia tahu, tak ada kompas yang bisa menunjukkan arah dalam situasi seperti itu. Ia hanya menepuk bahu Gema, lalu melanjutkan membenahi mobil yang sama sekali tak rusak.
- Jaya yang Menyerah
Beberapa minggu kemudian, Jaya, teman satu regu pencarian saat ada pendaki hilang, muncul. Matanya kosong, gerakannya seperti robot. Ia pernah menyelamatkan nyawa orang lain di lembah sempit yang longsor. Tapi kini, ia kalah oleh tagihan utang yang menggunung.
“Aku capek, So… Aku pengen hilang aja. Gak ada yang ngerti aku.”
Muso duduk di bangku kayu reyot, menyalakan sebatang rokok, dan menjawab pelan, “Kalau lu hilang, siapa yang bantu nyari kita nanti?”
Jaya menangis. Di bengkel kecil itu, tangisan lelaki dewasa bukan hal yang aneh. Mereka menangis bukan karena lemah, tapi karena terlalu lama terlihat kuat.
- Muso dan Cermin Retak
Malam itu, bengkel sepi. Hanya suara jangkrik dan detak jam tua. Muso duduk sendiri, menatap dinding yang penuh dengan foto-foto pendakian lama. Senyuman dalam foto-foto itu terasa jauh. Terlalu jauh.
Ia menggenggam kunci inggris, menatap pantulan wajahnya di cermin kecil yang retak.
“Gue ini siapa, sebenernya?” batinnya.
Ia selalu jadi tempat bergantung, tempat pelarian. Tapi siapa yang jadi tempatnya sendiri untuk pulang? Siapa yang mendengar cerita Muso, si tukang bengkel yang selalu terlihat kuat?
Ia teringat ibunya yang sudah tiada. Rumah masa kecil yang kini tinggal puing. Sahabat-sahabatnya yang satu per satu memilih pergi, ada yang karena nasib, ada yang karena luka.
- Sebuah Pagi yang Hangat
Keesokan paginya, Gema, Jaya, dan dua teman lama lainnya datang membawa nasi uduk dan kopi. Mereka tertawa kecil, meminjam kunci, mencuci motor sendiri-sendiri. Sambil becanda, sambil bercerita, sambil mencoba melupakan masalah masing-masing, walau hanya sesaat.
“Kayaknya kita harus bikin papan nama baru di depan bengkel,” ujar Gema.
“Apa tuh?” tanya Jaya.
“‘Ketok Magic – Tempat Berteduh bagi yang Kelelahan’”
Muso tertawa. Tawa yang tulus. Mungkin hidup mereka masih berat. Masalah belum selesai. Tapi hari itu, bengkel kecil itu menyala dengan cahaya yang tak terlihat oleh mata—cahaya persaudaraan dan ketulusan.
Penutup
Hidup bukan soal seberapa sering kita jatuh. Tapi seberapa banyak tempat kita bisa duduk sejenak, menghela napas, sebelum bangkit kembali. Dan untuk beberapa orang, tempat itu bernama Bengkel Muso.
Hanya sebuah Fiksi Sambil Ngopi by Bengpri
