KUNINGAN – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Frontal kembali menyuarakan kekhawatiran publik atas kondisi keuangan Pemkab Kuningan yang dinilai kian terpuruk akibat gagal bayar sejak 2022. Dalam rilis terbarunya, Frontal menyebut total tunda bayar telah membengkak menjadi Rp245 miliar dan berujung pada defisit APBD Rp273,8 miliar di tahun anggaran 2023.
Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menyebutkan gejala gagal bayar sudah muncul sejak 2022. Namun, publik baru dikejutkan setelah Panitia Khusus DPRD mengungkap angka riil tunda bayar yang jauh dari data awal yang disampaikan Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) saat itu, Dian Rachmat Yanuar.
“Awalnya disebut utang hanya Rp114 miliar. Tapi setelah ditelusuri Pansus DPRD, angka sesungguhnya Rp245 miliar. Ini bukan lagi kelalaian, tapi kebohongan sistemik,” ujar Uha dalam keterangan pers, Kamis, 18 Juli 2025.
LSM Frontal menilai kesalahan manajerial dan kurangnya transparansi TAPD menjadi penyebab utama porak-porandanya APBD Kuningan.
Anggaran Bocor, Setda Malah Kebal Efisiensi
Pada saat seluruh SKPD mengalami pemangkasan anggaran hingga 70 persen untuk menambal defisit, anggaran Sekretariat Daerah (Setda) justru tetap utuh. Bahkan, dialokasikan hingga Rp81 miliar di APBD 2024. Padahal, Setda dikendalikan oleh Dian Rachmat Yanuar, yang kala itu menjabat Sekda sekaligus Ketua TAPD.
“Di saat semua diminta ikat pinggang, Setda justru longgarkan ikat pinggang. Ini standar ganda yang telanjang,” sindir Uha.
Tiga Tahun Berturut-turut Gagal Bayar, Publik Bertanya: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Frontal menyebut, ketidakmampuan TAPD menjaga keseimbangan antara belanja dan kemampuan fiskal menjadi titik awal krisis. “Kalau sejak awal pengelolaan anggaran dirancang rasional, bom waktu ini takkan meledak,” ucap Uha.
LSM itu pun mendesak agar Bupati terpilih ke depan tidak berasal dari lingkaran kekuasaan yang terlibat dalam skandal gagal bayar. Mereka meminta adanya audit menyeluruh dan pembukaan data keuangan Pemda secara transparan.
