KUNINGAN – Seorang guru yang masih berstatus honorer mencurahkan isi hatinya kepada tim Cikalpedia.id. Keluh kesahnya yang paling hangat tentang Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sebagai guru honor, tugasnya tidak cukup ngajar dan sesekali membantu guru ASN, sekarang ditambah membantu program MBG. Mengumpulkan kotak nasi, menghitung dan mengikatnya. Jika kurang, mencari ke ruang-ruang kelas.
Otoritasnya yang lemah, yang tidak bisa protes karena berharap catatan mulus pimpinan demi mencapai jalan mulus menapaki peluang P3K, Ia kerjakan intruksi apa pun yang diterimanya. Tak mengeluh, meski setiap bulannya hanya menerima honor 150 – 500 ribu saja.
Angka Rp.150 – 500 ribu tidak masuk logika matematika untuk kebutuhan saat ini. Apalagi statusnya sebagai kepala keluarga. Beruntung, anak dan istrinya sangat sabar. Mungkin karena besarnya harapan masa depan yang indah.
‎Baginya, MBG menjadi beban tambahan. Setiap kali mobil SPPG tiba di sekolah, Ia harus menghitung, membagikan, dan setelahnya merapihkan kotak nasi, mengikatnya perlima kotak nasi.
‎
‎”Ketika datang MBG, disuruh ngitung jumlah MBG, terus ngecek, kemudian kami juga yang membagikan. Setelah selesai kami juga yang ngiket per omprengnya,” ujarnya.
‎
‎Tidak sekedar beban fisik, program unggulan Presiden Prabowo itu menyeret sekolah atau guru untuk turut bertanggung jawab. Sekolah ikut sibuk mengurusi proses makan anak, merapikan serakan sisa makanan, dan mengganti ketika kotak atau ompreng nasi hilang atau rusak. Lebih lagi, pihak sekolah dibingungkan dengan sentimen masyarakat ketika terjadi keracunan, sementara pihaknya tidak tahu menahu tentang jenis makanan dan potensi racun di dalamnya.
‎
‎”Nyaris tanpa upah dan ucapan terimakasih dari pihak dapur. Ketika ada kasus seperti keracunan, makanan basi, ompreng hilang, pihak sekolah yang bertanggung jawab termasuk guru yang bersangkutan. Tetapi kami dilarang menyebarkan informasi tersebut, apalagi ke media,” tuturnya.
‎Kemudian Ia menuturkan, program MBG itu membuatnya telat pulang ke rumah karena harus menunggu mobil jemputan ompreng. Setiap harinya, Ia harus menunggu sampai tiga jam bahkan lebih, meski jam sekolah sudah selesai.
‎
‎”Saya yang harus menunggu jemputan dari jam 1 sampai jam 4 sore. Jadi kalau sampe rumah sekitar jam 5 sorean. Tidak bisa beraktivitas lain untuk menambah penghasilan,” pungkasnya.
‎
‎Curahan hati guru honorer itu menggambarkan betapa berat beban yang harus ditanggung di tengah pengabdian yang minim penghargaan. Gaji, atau lebih tepatnya upah, yang masih sangat kecil belum sebanding dengan beratnya beban hidup saat ini.
Kondisi itu, baginya, mencerminkan ketidakadilan sistem yang kerap melupakan nasib para guru honorer yang berada di garis depan pendidikan, namun tidak pernah benar-benar diperhatikan kesejahteraannya. (Icu)