KUNINGAN – Pernyataan Ketua DPRD Kuningan, Nuzul Rachdy, yang mengaku skeptis dan meragukan validitas data pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kuningan sebesar 10,4 persen yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), menuai tanggapan keras dari kubu politik lain. Sikap skeptis legislatif tersebut dinilai tidak berdasar dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik, mengingat BPS adalah lembaga resmi negara yang hasil datanya menjadi acuan kebijakan pembangunan.
Salah satu pihak yang merespons pernyataan tersebut secara tajam adalah H. Yudi Budiana, Ketua Harian DPD Partai Golkar Kuningan. Ia menyampaikan kekecewaannya atas keraguan yang dilontarkan oleh Ketua DPRD tersebut.
“Komentar Pak Nuzul Rachdy sangat disayangkan. Masa lembaga resmi setingkat BPS, yang hasil kerjanya bahkan mendapat penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri, diragukan validitasnya?” ujar Yudi Budiana, Selasa (4/11/2025).
Yudi menegaskan, posisi BPS sebagai lembaga statistik resmi dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, serta diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2007.
“Data BPS adalah data resmi Pemerintah Indonesia. Semua kebijakan pembangunan nasional maupun daerah mengacu pada data mereka. Jadi rasanya tidak mungkin BPS mengeluarkan data secara sembarangan, apalagi untuk data sepenting pertumbuhan ekonomi daerah,” lanjutnya, menyiratkan bahwa kritik tersebut mestinya berbasis data tandingan yang valid, bukan sekadar persepsi.
Kritik terhadap pernyataan Ketua DPRD juga menyoroti kurangnya pemahaman metodologis dalam menilai pertumbuhan ekonomi. Yudi menjelaskan, proses penghitungan pertumbuhan ekonomi dilakukan melalui metode ilmiah dengan standar internasional yang ketat dan terukur.
“Penghitungan pertumbuhan ekonomi Kuningan yang dilakukan BPS tentu sudah memenuhi kaidah statistik yang ketat. Perhitungannya didasarkan pada nilai Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu penjumlahan seluruh nilai tambah bruto dari berbagai sektor ekonomi di wilayah tertentu dalam satu periode,” jelasnya.
Ia menambahkan, angka pertumbuhan ekonomi tidak bisa dinilai hanya dari satu atau dua komponen yang dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti fluktuasi harga komoditas pangan. Angka PDB adalah indikator agregat.
“Tidak bisa menilai pertumbuhan ekonomi hanya dari naik turunnya harga telur, misalnya. Pertumbuhan ekonomi dihitung secara agregat, mencakup konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal bruto, ekspor, dan impor. Semuanya diperhitungkan secara sistematis,” katanya.
Untuk memperkuat argumennya, Yudi mengingatkan kembali bahwa pada masa puncak pandemi Covid-19, ketika banyak daerah mengalami kontraksi ekonomi parah, Kuningan termasuk salah satu dari hanya tiga kabupaten/kota di Jawa Barat yang mencatat pertumbuhan ekonomi positif.
“Sementara banyak daerah lain terkontraksi, Kuningan justru bertahan. Itu karena struktur ekonomi Kuningan berbasis sektor pertanian yang tahan guncangan, ditopang belanja pemerintah serta gotong royong masyarakat,” ujarnya, menggarisbawahi keunikan dan ketahanan struktural ekonomi Kuningan yang mungkin tidak dipahami secara utuh oleh legislatif.
Yudi juga memastikan bahwa BPS melakukan penghitungan PDB secara kuartalan dan tahunan melalui tiga pendekatan: lapangan usaha, pengeluaran, dan pendapatan. Prosesnya diawasi ketat, dan BPS selalu memastikan ketepatan serta keandalan datanya.
“Jadi kalau Pak Nuzul meragukan data BPS tanpa dasar yang kuat dan analisis yang tepat, itu bisa menimbulkan kesalahpahaman publik. Kritik boleh, tapi harus didukung argumentasi dan pemahaman yang tepat. Jangan sampai ketidakpercayaan pada lembaga resmi justru melemahkan kredibilitas data pembangunan daerah,” pungkas Yudi Budiana, meminta Ketua DPRD agar lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan yang menyangkut kredibilitas data negara. (ali)
