Cikalpedia
Cerpen

Dua Ibu di Tengah Asap Demo

Cikalpedia.id – Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Bu Rini tak bisa tenang sejak pagi. Tangannya sibuk menekan layar ponsel, mencari kabar terbaru tentang demo mahasiswa yang semakin ramai diberitakan.

“Ya Allah, semoga Dimas nggak apa-apa,” lirihnya. Dimas, anak sulungnya, mahasiswa semester lima, ikut aksi menolak kenaikan tunjangan DPR yang ramai diperbincangkan.

“Bu, ini perjuangan moral,” begitu alasan Dimas semalam. “Mereka hidup mewah, sementara rakyat masih antre minyak dan beras.”

Bu Rini menghela napas. Hatinya bangga, tapi juga cemas. Setiap kali mendengar kabar bentrok antara mahasiswa dan aparat, jantungnya serasa berhenti.

Sementara itu, di sebuah rumah dinas kecil di kota, Bu Ratna menatap foto anaknya di dinding. Seragam polisi tampak gagah melekat di tubuh Andika, anak bungsunya. Hari ini Andika bertugas di lapangan, mengamankan jalannya demo mahasiswa.

“Semoga semua berjalan aman, Nak,” gumamnya sambil menatap TV yang menayangkan siaran langsung ricuhnya aksi. Batinnya bergejolak. Ia tahu, tugas anaknya berat: menahan amarah, menjaga agar kericuhan tak meluas, dan sering kali menerima hujatan tanpa alasan pribadi.

“Polisi itu perisai negara, Bu,” kata Andika tempo hari. “Tapi sering juga jadi sasaran kebencian.”

Di jalan protokol kota, dua dunia itu bertemu: mahasiswa berteriak dengan spanduk, aparat berbaris dengan tameng. Di antara ribuan orang, Dimas berdiri di barisan depan, mengangkat poster bertuliskan “Rakyat lapar, wakilnya kenyang!”. Tak jauh dari situ, Andika berdiri dengan wajah tegang, matanya waspada mengamati kerumunan.

Terik matahari menyengat, suara sirene bersahut-sahutan.

Bu Rini menatap layar televisi, matanya mencari sosok anaknya di kerumunan mahasiswa. Pada saat yang sama, Bu Ratna pun melakukan hal yang sama—mencari wajah anaknya di barisan polisi.

Baca Juga :  HKTI Tancap Gas, 32 PAC Resmi Dilantik di Kuningan

Mereka sama-sama menggenggam ponsel, sama-sama menahan napas, sama-sama berdoa.

Sore itu, hujan tiba-tiba turun, membuyarkan kericuhan. Mahasiswa berlarian mencari tempat berteduh, polisi menurunkan gas air mata. Dalam kekacauan itu, Dimas terjatuh, hampir terinjak massa. Sebuah tangan terulur cepat, menariknya ke pinggir jalan.

“Dek, hati-hati!” suara tegas itu datang dari seorang polisi muda.

Dimas menoleh, dan sejenak bertemu tatapan Andika. Mereka tidak saling kenal, tapi dalam detik singkat itu, keduanya saling mengangguk—sebuah pengakuan diam-diam bahwa mereka sama-sama anak dari ibu yang sedang cemas di rumah.

Malamnya, Bu Rini menerima pesan singkat: “Bu, aku aman. Sudah pulang ke kos.” Air matanya tumpah, rasa lega meluruhkan segala ketegangan.

Di rumah lain, Bu Ratna menerima telepon dari anaknya: “Bu, tugas selesai. Semua terkendali. Aku juga aman.” Ia pun menangis dalam syukur.

Dua ibu, berbeda rumah, berbeda anak, berbeda seragam, tapi sama-sama berdoa dengan harapan sederhana: anak mereka pulang dengan selamat.

Sementara di layar televisi, berita terus memutar tentang kisruh tunjangan DPR. Para pejabat berdebat soal angka, sementara di balik layar, ada jutaan ibu yang hanya ingin anak-anak mereka tetap hidup dan kembali ke rumah. (Beng).

Hanya Fiksi sembari Ngopi by Bengpri

Related posts

Surat Minta Pj Bupati Kuningan Dicopot, PKS Mengelak Terlibat

Cikal

3.998 Rutilahu Kuningan Direspons Kementerian, Realisasi Dijanjikan 2026

Alvaro

Kuningan Akan Gelar Morning Walk For Humanity, Ada Jalan Sehat dan Bakti Sosial untuk Masyarakat

Cikal

1 comment

vorbelutrioperbir 21/10/2025 at 08:42

Hello, you used to write excellent, but the last few posts have been kinda boringK I miss your super writings. Past few posts are just a little out of track! come on!

Reply

Leave a Comment