Cikalpedia
”site’s ”site’s ”site’s ”site’s ”site’s ”site’s ”site’s
Opini

Gagap Bencana: Mengapa Kita Selalu Datang Setelah Air Surut?

: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta. (Istimewa)

Jika ini tidak terkunci, negara akan selalu terlihat sibuk, tetapi tetap terlambat.

Lebih luas lagi, pada 1 Desember BMKG mengeluarkan peringatan dini hujan sedang hingga lebat disertai petir dan angin kencang yang aktif di banyak provinsi, termasuk wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Banten, Sulawesi, Kalimantan, NTT, hingga Papua. Artinya, risiko tidak berhenti di Sumatra. Jika pola respons tidak dibenahi sekarang, kita hanya memindahkan panggung duka dari satu provinsi ke provinsi lain.

Solusi: Ubah Cara Negara Memegang Setir

Pertama, pemerintah pusat perlu menetapkan pemicu aksi yang mengikat, bukan sekadar imbauan. Ketika peringatan ekstrem keluar, harus ada protokol otomatis: pra posisi logistik, pembukaan posko di wilayah rawan, penutupan sementara jalur berisiko longsor, dan evakuasi terbatas untuk kantong risiko tinggi. Tidak semua warga harus dipindahkan, tetapi kelompok paling rentan harus diselamatkan lebih dulu.

Standar ini harus bisa diaudit: kapan peringatan keluar, kapan keputusan diambil, kapan tindakan dimulai.

Kedua, satu data harus benar benar satu. Data korban, orang hilang, lokasi pengungsian, kerusakan infrastruktur, dan kebutuhan logistik harus berada dalam satu sistem nasional yang dipakai bersama. Tanpa satu sumber kebenaran, respons akan selalu reaktif karena keputusan dibuat berdasarkan potongan informasi yang telat dan berbeda.

Ketiga, perbaiki arsitektur logistik bencana. Gudang logistik berbasis regional harus dilengkapi paket standar yang siap kirim, bukan menunggu pengadaan dan rapat. Ini termasuk kebutuhan sederhana: lampu darurat, selimut, makanan siap saji, air bersih, obat, dan alat komunikasi cadangan.

Pada bencana besar, jam pertama adalah penentu. Negara tidak boleh bergantung pada “momen pengiriman” yang baru bergerak setelah viral.

Keempat, akhiri ilusi bahwa bencana adalah urusan tanggap darurat semata. Banjir bandang dan longsor selalu memiliki jejak, mulai dari tata ruang yang longgar, drainase yang kalah oleh perubahan tutupan lahan, hingga permukiman yang tumbuh di zona bahaya tanpa perlindungan memadai.

Baca Juga :  Kuningan Darurat Data, Akademisi Kritik Minimnya Akses dan Akurasi

Ini menuntut kepemimpinan lintas sektor: pekerjaan umum, kehutanan, pemda, dan penegakan aturan. Jika tidak, setiap rupiah untuk bantuan hanya menambal peristiwa, bukan memutus siklus.

Kelima, kepemimpinan nasional perlu mengubah cara berkomunikasi. Publik tidak hanya butuh kabar bahwa bantuan “sudah dikirim”. Publik butuh kejelasan keputusan, prioritas, dan tanggung jawab. Transparansi bukan beban, melainkan alat mobilisasi. Dalam bencana, ketidakpastian informasi sama berbahayanya dengan banjir itu sendiri.

Negara Tidak Boleh Menunggu Duka Mengajari Kita

Bencana dalam sepekan terakhir menunjukkan pola yang tidak bisa lagi dianggap musiman. Ketika korban meninggal bergerak dari ratusan menjadi lebih dari lima ratus dalam hitungan hari, itu tanda bahwa sistem kesiapsiagaan kita masih rapuh.

Padahal peringatan dini sudah dipublikasikan sejak awal. Maka kritik “gagap bencana” bukan untuk mempermalukan pemerintah, tetapi untuk menyelamatkan nyawa pada siklus bencana berikutnya yang, melihat peringatan dini per 1 Desember, berpotensi terjadi di banyak daerah lagi.

Kepemimpinan Presiden Prabowo akan dinilai bukan dari seberapa cepat hadir di lokasi, tetapi dari seberapa cepat negara bergerak sebelum air datang, sebelum lereng runtuh, sebelum keluarga kehilangan kabar. Kalau radar sudah bunyi, kapal tidak boleh tetap rapat. Kapal harus bergerak.

END

Related posts

Elahe, Pesepeda Iran yang Kepincut Hangatnya Tour de Linggarjati 2025

Alvaro

Tim Basket ASN Kuningan Tembus 8 Besar Piala Gubernur Jabar

Cikal

40 Titik APK Ridho-Kamdan Dirusak, Tim Pemenangan: Ini Terorganisir dan Sistematis

Cikal

Leave a Comment