Suatu malam hujan turun deras. Agni menyalakan radio butut di sudut ruang tamu. Lagu lama mengalun, dan saat itulah ia menyadari sesuatu: dirinya lelah. Tapi bukan karena harus selalu membantu, melainkan karena berharap.
Sejak malam itu, Agni berhenti menunggu orang-orang kembali. Ia kembali membuka toko kecil, kali ini hanya melayani apa adanya. Ia tetap membantu siapa pun yang datang, tanpa lagi mencatat di hati siapa yang perlu berterima kasih atau tidak.
Bulan demi bulan berlalu.
Pada suatu pagi cerah, seorang pria muda dengan jas rapi datang ke tokonya. Wajahnya asing, tapi di matanya ada rasa bersalah.
“Pak Agni?” tanya pria itu.
Agni mengangguk, tersenyum tipis.
“Saya dulu pernah Bapak bantu fotokopi lamaran kerja… Saya minta maaf, saya baru ingat lagi hari ini.”
Agni tertawa kecil, suara yang jarang keluar dari mulutnya.
“Nak, kamu tidak perlu datang lagi hanya untuk minta maaf. Jembatan itu tidak pernah menunggu siapa pun kembali.”
Pria itu terdiam. Lalu, ia mengangguk dalam, sebelum meninggalkan beberapa lembar uang di meja. Tapi Agni menolaknya.
“Nikmati saja hidupmu, Nak. Aku bahagia melihatmu sudah sampai di seberang.”
Dan setelah pria itu pergi, Agni duduk kembali di beranda, di bawah pohon yang daunnya berguguran pelan-pelan.
Jalan di depannya tetap ramai. Orang-orang melintas, kadang melambaikan tangan, kadang tidak.
Tapi kali ini, Agni benar-benar merasa utuh.
Karena ia tahu, tugasnya di dunia ini bukan untuk dikenal, bukan untuk dipuja, apalagi dibalas budi. Ia hanyalah jembatan. Dan menjadi jembatan, berarti siap dilupakan — tapi tetap kokoh berdiri.
Hanya Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri