Di sisi lain, Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim, menolak mentah-mentah kebijakan itu. Bogor, dengan topografi berbukit dan lalu lintas yang padat, tidak cocok memulai hari lebih cepat.
Di tengah polemik ini, muncul suara dari parlemen. Lalu Hadrian Irfani, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menegaskan bahwa kebijakan pendidikan tidak bisa diputuskan sepihak dari tingkat provinsi tanpa mendengar kepala daerah.
“Setiap daerah punya realitas sosial dan kapasitas berbeda. Harus ada koordinasi antara Pemprov dan Pemda, apalagi soal yang menyentuh kehidupan siswa langsung,” katanya.
Lalu tidak menolak ide dasar Gubernur. Ia justru mempertegas bahwa study tour sah-sah saja, asal memenuhi tiga kriteria: Edukatif dan kontekstual, tidak memberatkan biaya, dan memberikan hasil nyata bagi pembelajaran siswa
Ia juga mengingatkan, program seperti ini harus dirancang secara transparan, melibatkan komite sekolah, orang tua, dan dinas pendidikan.
“Jangan sampai study tour jadi ajang komersialisasi. Tapi juga jangan dimatikan. Anak-anak perlu ruang belajar yang luas,” tambahnya.
Kasus ini membuka kembali diskusi penting: apakah kebijakan pendidikan bisa diseragamkan untuk semua daerah? Dalam praktiknya, banyak sekolah menghadapi tantangan berbeda: dari infrastruktur jalan, kondisi geografis, hingga latar belakang ekonomi keluarga.
Langkah kepala daerah yang berani mengambil keputusan berbeda menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekadar urusan administrasi, tapi keberpihakan.
Seperti kata Lalu Hadrian Irfani, pendidikan adalah sektor strategis yang menyentuh langsung masa depan bangsa. Dan masa depan itu tidak bisa dibangun dengan larangan semata, melainkan dengan ruang dialog dan kolaborasi yang terbuka. (Beng)