Cikalpedia
Opini

Ketimpangan, Pengangguran, dan Dilema Kurikulum Merdeka

Dzulfahmi Fadhilah, Kader HMI Kuningan

Pendidikan di Indonesia dinilai semakin kehilangan makna sejatinya. Saya menilai bahwa sekolah dan kuliah kini lebih sering dijalani hanya sebagai syarat administratif untuk mendapatkan pekerjaan, bukan sebagai proses pembentukan karakter yang relevan di kehidupan. Perubahan kurikulum terus menerus yang mencerminkan belum adanya arah yang jelas dan konsisten dalam menciptakan lulusan yang benar-benar adaptif, kompeten, dan berdaya saing sesuai dengan tuntutan zaman.

Fenomena ini diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 yang menunjukkan bahwa lebih dari satu juta lulusan perguruan tinggi (S1–S3) tercatat belum bekerja. Sementara itu, lulusan SMA dan SMK menyumbang lebih dari 3,6 juta penganggur, menjadikan kelompok lulusan menengah sebagai penyumbang terbesar pengangguran terbuka nasional. Artinya, lebih dari 50% pengangguran di Indonesia berasal dari lulusan SMA dan SMK

Tak hanya itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa terdapat 9,9 juta pemuda usia 15–24 tahun yang tergolong NEET (Not in Employment, Education, or Training), yaitu mereka yang tidak bekerja, tidak sekolah, dan tidak mengikuti pelatihan apa pun, menurut saya Ini menunjukkan betapa besarnya potensi produktif yang tersia-siakan akibat tidak sinkronnya pendidikan dan dunia kerja, pemerintah secara tidak sadar melewatkan usia produktif yang harusnya disiapkan dan menjadi momentum emas untuk membentuk generasi yang tangguh dan adaptif.

Ironisnya, di tengah realitas ini, pemerintah tetap mengusung cita-cita besar untuk mewujudkan “Indonesia Emas 2045”. Pertanyaannya, bagaimana mungkin impian tersebut dapat tercapai apabila fondasi manusianya belum dipersiapkan secara matang?

Kondisi ini memperlihatkan bahwa orientasi pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berpihak pada pengembangan manusia seutuhnya. Masih kuat budaya mengejar sertifikat dan nilai dari pada mengejar ilmu, dan proses belajar yang cenderung mekanistik tanpa makna kontekstual. Kajian dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) juga menunjukkan bahwa sebagian besar siswa menjalani pendidikan dengan pendekatan hafalan dan tekanan nilai akademik semata.

Baca Juga :  Positive and Negative Impacts of Social Media Trends

Pada akhirnya, masa depan pendidikan Indonesia tidak cukup diselamatkan oleh kurikulum baru atau jargon perubahan. Tapi perlu kajian yang serius dari berbagai aspek terutama pemerataan pendidikan, kurikulum merdeka harus bisa menjadi alat pendidikan yang sampai akar rumput dan Guru bukan sekadar pelaksana kurikulum, tapi pendamping tumbuh kembang generasi. Oleh karena itu, mereka harus disejahterakan, dihargai, dan diposisikan sebagai fondasi bangsa, bukan sekadar tenaga teknis. Tanpa keberanian untuk berbenah secara kolektif, Indonesia Emas 2045 akan tetap jadi mimpi dan angan angan saja. []

Ditulis oleh: Dzulfahmi Fadhilah, Kader HMI Kuningan

Related posts

Merawat dan Menyalakan Kembali Ruh Pancasila

Ceng Pandi

Cak Imin Sebut Pandangan Sadam Perlu Diluruskan

Ceng Pandi

Ulama, Ormas, dan Forum Rektor Serukan Kuningan Damai

Ceng Pandi

Leave a Comment