KUNINGAN – Di bawah terik matahari siang yang mulai condong ke barat, suara musik mengalun di pelataran terbuka. Derap kaki kecil terdengar ritmis, selaras dengan hentakan semangat yang tak kalah besar dari anak-anak Saka Pariwisata Kuningan.
Mereka bukan penari profesional. Mereka adalah pelajar biasa, anak-anak muda yang sehari-harinya disibukkan oleh tugas sekolah dan kegiatan pramuka.
Tapi siang itu, tubuh-tubuh kecil itu menari, bukan hanya dengan gerak, tapi dengan jiwa. Karena bagi mereka, ini bukan sekadar latihan, ini adalah bentuk cinta kepada tanah air.
Dengan celana pramuka yang masih melekat erat di tubuh, mereka mengikuti setiap arahan pelatih dari Sanggar DnR.
Sesekali ada gerakan yang salah, ada yang tertawa malu, ada yang kembali mengulang. Tapi tak satu pun menyerah. Semangat mereka menyala, karena mereka tahu, mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang istimewa: Tarian Kolosal Merah Putih, untuk Indonesia.
Di balik senyum dan peluh yang menetes, tersimpan tekad: menjadi bagian dari sejarah satu dekade Gebyar 10001 Merah Putih, sebuah panggung yang lebih dari sekadar acara tahunan. Ini adalah ruang ekspresi, ruang tumbuh, dan ruang cinta.
“Latihan ini memang capek, tapi seru. Kami bangga bisa tampil bawa nama Saka Pariwisata,” ucap salah satu peserta, matanya berbinar meski kakinya gemetar lelah.
Di momen seperti ini, kita diingatkan bahwa cinta tanah air tidak harus diwujudkan dalam hal-hal besar. Kadang, ia muncul lewat derap kaki kecil yang menari di tanah lapang, lewat keringat anak-anak yang ingin mengharumkan nama daerahnya, lewat semangat yang tak kenal lelah untuk memberi yang terbaik bagi negerinya.
Mereka mungkin masih muda. Tapi cinta mereka pada Indonesia, sudah tumbuh dewasa.(Beng).
