Kebiasaan lama yang masih menghantui pemerintahan daerah pasca-pilkada adalah “birokratisasi balas jasa”. Pendukung yang merasa telah berjibaku memenangkan pertarungan di akar rumput, tentu menagih janji. Beberapa bahkan sudah mulai mendesak-desak lewat jalur informal.
Di sinilah ketegasan dan integritas bupati diuji. Apakah berani mengatakan tidak untuk jabatan yang dipaksakan? Apakah berani mengangkat orang-orang yang memang pantas dan kompeten, bukan hanya karena pernah mengibarkan baliho?
Namun demikian, tidak adil juga jika semua pendukung dianggap hanya mengejar jabatan. Beberapa dari mereka memang punya kapasitas, pengalaman, dan loyalitas terhadap visi daerah.
Yang menjadi titik krusial adalah bagaimana sang bupati memisahkan mana yang memang layak diberi tanggung jawab, dan mana yang hanya menumpang gelombang kemenangan.
Rotasi ini, jika dilakukan secara transparan dan objektif, bisa menjadi titik awal reformasi birokrasi yang sebenarnya. Tapi jika sebaliknya, didasarkan pada selera politik dan tekanan tim sukses, maka Kuningan akan mengulangi pola klasik yang membuat roda pembangunan tersendat: birokrasi yang tak netral dan kinerja yang tak optimal.
Masyarakat kini menanti, apakah rotasi jabatan kali ini menjadi awal dari pemerintahan yang meritokratis, atau justru menjadi catatan awal dari kekecewaan panjang. Bupati baru, harapan baru.
Tapi harapan itu hanya akan tumbuh jika didukung keberanian untuk berkata: “Yang saya butuhkan adalah orang yang mampu bekerja, bukan sekadar yang membantu saya menang.”
Penulis : Bengpri (Jurnalis Cikalpedia.id)