Ia mulai merindukan saat-saat ketika ia kotor karena bermanfaat.
Ia sadar, selama ini ia bukan dihina karena diinjak, tapi justru dimuliakan karena digunakan.
Sepatu Kulit suatu malam berkata, “Sandi, kehormatan bukan berarti tinggi di rak. Kadang justru kita paling mulia saat berada di bawah, saat berfungsi untuk melindungi dan memberi manfaat.”
Kata-kata itu menusuk hati Sandi.
Malam itu, ia berdoa lagi—dengan penuh penyesalan.
“Aku ingin kembali seperti dulu. Aku ingin berguna. Biarlah aku diinjak, asalkan aku bisa melindungi.”
Pagi berikutnya, Pak Raji hendak pergi ke kebun. Ia menatap ke pojok teras. Matanya tertumbuk pada Sandi.
“Lho, sandal ini… masih ada,” gumamnya. Ia mendekat, membersihkan sedikit debu di permukaan, lalu memakainya.
Sandi kembali merasakan sentuhan itu. Langkah demi langkah, ia berada di bawah kaki, tapi kali ini ia tersenyum dalam hati. Ada hangat yang membuncah. Bukan karena kehormatan, tapi karena kebermaknaan.
Kini Sandi tahu: harga dirinya tidak diukur dari berapa banyak yang menunduk padanya, tapi dari berapa banyak jejak yang bisa ia bantu tapaki.
“Hidup bukan tentang ditinggikan, tapi tentang memberi arti. Bermanfaat, meski di bawah, lebih mulia daripada diagungkan tanpa guna.”
Hanya Fiksi Sambil Ngopi by Bengpri