Cikalpedia
Cerpen

Sayap Elang yang Patah

Cikalpdia.id – Dulu, Elang adalah sosok yang dielu-elukan. Sosok yang tangguh, sportif, dan punya empati tak terbatas. Ia bukan hanya pendaki yang piawai menaklukkan lereng curam dan kabut malam, tapi juga pahlawan kecil di antara kawan-kawannya. Saat ada yang kehabisan logistik, Elang berbagi. Ketika seseorang kehilangan semangat hidup, Elang yang memeluk, mendengar, dan menguatkan.

“Elang itu satu untuk semua,” begitu kata mereka dulu.

Tapi kini, Elang jatuh.

Usahanya bangkrut karena ditipu rekan bisnis. Motornya disita, kosan tak sanggup dibayar. Ia tidur di bengkel tua milik pamannya yang sudah tak digunakan. Di sudut ruangan berdebu, hanya ada tikar, ransel tua, dan satu panci kecil untuk merebus air.

Malam itu hujan deras. Angin menyelinap dari celah-celah dinding kayu. Perut Elang keroncongan, tapi dia sudah dua hari tak makan layak. Hanya kopi hitam tanpa gula yang menemaninya.

Ia buka WhatsApp.

Scrolling… banyak nama. Nama-nama yang dulu ia bela, ia angkat saat terpuruk. Ia WA satu-satu:

“Bro, maaf ganggu… aku lagi ga ada apa-apa. Bisa pinjemin uang 20 ribu buat makan?”

Centang dua. Tak ada yang balas.

Lima, sepuluh, dua puluh orang. Semua sama. Sunyi.

Tangannya gemetar. Matanya perih. Ia menangis, pelan. Bukan karena lapar, tapi karena rasa ditinggalkan.

Putus asa, ia akhirnya WA Yayan. Teman yang dulu sering ia marahi karena mabuk, berantem, dan hidup semaunya.

“Yan… maaf… aku lapar banget. Ada nasi ngga?”

Tak sampai 10 menit, suara motor tua berhenti di depan bengkel. Yayan turun dengan jaket basah kuyup. Di tangannya, dua bungkus nasi goreng plastik dan sebotol teh manis.

“Bangsat lu, Lang! WA jam segini. Laper ya? Nih… makan dulu.”

Baca Juga :  Uniku Melangit: 37 Program Strategis Dapat Pendanaan Negara

Elang hanya bisa menatapnya, bibirnya gemetar.

“Yan… makasih…”

Yayan duduk di sebelahnya, menyulut rokok.

“Mereka ke mana semua, Lang? Yang elu bela mati-matian dulu?”

Elang tak jawab. Air matanya jatuh pelan ke nasi yang mulai dingin. Suap demi suap, ia makan sambil menangis.


Beberapa minggu kemudian…

Yayan datang lagi ke bengkel, tapi pintu tak terbuka.

Ia dobrak.

Di dalam, Elang terbujur kaku di tikarnya. Matanya terpejam, wajahnya tenang. Di sebelah tubuhnya, ada secarik kertas yang dilipat rapi.

“Untuk siapa pun yang masih peduli:
Jangan hakimi orang dari masa lalunya.
Kadang mereka yang kita anggap ‘sampah’ adalah satu-satunya yang datang saat kita benar-benar tenggelam.”

Yayan menggenggam kertas itu erat. Matanya merah.

“Maaf, Lang… gue telat bawa nasi goreng lagi…”

Dan malam itu, hujan turun lebih deras dari biasanya. Seolah langit pun menangisi kepergian Elang — si burung yang patah sayapnya karena ditinggalkan oleh kawanan yang pernah ia lindungi.


Akhir.
(Cerita ini terinspirasi dari realita — bahwa seringkali, yang disebut ‘teman baik’ tak selalu hadir saat kita runtuh. Tapi kadang, orang yang kita anggap remeh, justru datang membawa sejumput harapan.)

Related posts

Dandim Siaga: Saya di Garda Terdepan Jaga KPU

Cikal

Hotman Paris Desak Copot Direksi RSUD Linggarjati, Begini Tanggapan Bupati

Ceng Pandi

Restu Bupati untuk Nono Sujono, Tinggal Tunggu Restu OJK

Alvaro

Leave a Comment