“Kebudayaan itu bukan masa lalu yang disimpan, tapi cara hidup yang terus kita rawat. Di dalamnya ada logika lokal dan etika sosial yang bisa jadi dasar kepemimpinan,” jelasnya.
Topik kepemimpinan semakin hangat saat, Wihendar, penggerak pendidikan alternatif, menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah yang berani berpihak pada kebenaran.
“Kepemimpinan bukan seni pencitraan, tapi keberanian mengatakan ‘tidak’ pada kemapanan yang menindas,” ujarnya lantang.
Nuansa diskusi makin artistik ketika sutradara teater, Kang Ence Bagus, menyoroti fenomena kepemimpinan di Kuningan dengan bahasa satire.
“Kepemimpinan di Kuningan sering tampil seperti drama. Aktornya piawai, tapi lupa naskahnya ditulis rakyat. Seni seharusnya jadi cermin, bukan pelarian,” katanya, disambut tawa reflektif peserta.
Forum tersebut tak hanya jadi ajang wacana, tapi juga ruang ekspresi. Seni, logika, dan nurani berpadu, menghadirkan narasi baru tentang Kuningan yang lebih manusiawi dan berkesadaran.
Antusiasme hadir dari beragam kalangan yakni mulai dari akademisi, aktivis muda, pelajar, seniman, hingga pemimpin komunitas. Mereka berharap kegiatan itu bisa menjadi agenda rutin, agar ruang dialog sehat antara pikiran dan rasa terus tumbuh di masyarakat. (Icu)