Tak hanya soal longsor, Asep Papay juga mempertanyakan kinerja BTNGC dalam menetapkan Zona Tradisional TNGC. Zona ini awalnya diusulkan untuk memfasilitasi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti getah pinus oleh masyarakat desa penyangga, berdasarkan Peraturan Dirjen KSDAE No. P.6/KSDAE/SET/KUM/6/2018. Namun, kini zona seluas 1.818 hektar itu justru menjadi “pelindung” bagi praktik penyadapan ilegal.
“TNGC seolah tutup mata. Di mana evaluasi berkala terhadap dampak aktivitas di zona ini?” tanya Papay.
Ia mencurigai, penetapan zona ini hanya menguntungkan kelompok tertentu “Atas nama wisata atau masyarakat, tapi tanpa pengawasan ketat terhadap kerusakan lingkungan.”
Sebagai partai yang berada di bawah naungan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Raja Juli Antoni (yang juga Sekjen PSI), Asep Papay menyatakan akan membawa poin-poin evaluasi ini ke tingkat pusat.
“Kami tidak ingin setelah terjadi bencana, BTNGC hanya berdalih faktor alam. Perlindungan kawasan TNGC harus serius, bukan sekadar retorika,” tegasnya.
Gunung Ciremai adalah penyangga kehidupan bagi masyarakat Kuningan dan Majalengka, terutama sebagai sumber air bersih. Jika eksploitasi terus dibiarkan, ancaman kerusakan ekosistem dan bencana alam bisa semakin mengintai.
“BTNGC harus lebih tegas dan transparan. Jangan sampai anak cucu kita yang menanggung akibatnya,” pungkas Papay. (red)