Tapi Bela tak pernah menyerah. “Kalau aku diam, aku mati. Aku hidup dari suara,” ucapnya suatu hari pada diri sendiri.
Suatu sore, Bela menerima surat kecil dari seorang pendengar remaja. Isinya sederhana:
“Kak Bela, aku nggak punya teman. Tapi kalau denger suara Kakak di radio, rasanya aku ditemani… Makasih ya, Kak.”
Bela menangis diam-diam di sudut studio. Di balik semua peluh, luka, dan suara serak, ternyata suaranya sampai ke hati seseorang.
Hari ini, Bela masih di studio. Masih di panggung. Masih di jalan.
Meski umur tak muda lagi, suara itu tak pernah padam. Ia bukan sekadar penyiar, bukan sekadar penyanyi. Ia adalah penjaga gema suara, pejalan sunyi yang setia pada cintanya. Dan meski angin semakin kencang, debu semakin tebal, Bela tahu, selama ia bisa bersuara, ia akan terus bernyanyi.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri (Mengarang bebas berdasar Cerita Hidup seorang Sahabat Bela Adirama)