Cikalpedia.id – Pagi itu, di ruang kerja yang sederhana, Arif, seorang ASN di sebuah dinas kabupaten menatap secangkir kopi yang mulai mendingin. Di atas mejanya, sebuah surat edaran baru saja dibagikan oleh bagian kepegawaian.
“Pemberitahuan Penyesuaian Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP)”.
Ia membaca perlahan, memastikan tak ada salah paham. Nyatanya, memang benar. TPP bulan depan akan mengalami pemotongan karena keterbatasan anggaran.
Arif menarik napas panjang. Di luar jendela, ia melihat langit Kuningan yang cerah. Angin berhembus pelan, seolah ingin menenangkan pikirannya. Dalam hati, ia bergumam, “Berarti mulai bulan depan, harus lebih hemat lagi.”
Bukan berarti hidupnya selama ini mewah, jauh dari itu. Gaji pokok dan TPP yang ia terima selama ini sudah ia kelola untuk kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah anak, dan sedikit tabungan. Potongan ini jelas akan terasa.
Namun, Arif tahu, tugas pemerintah daerah bukan hanya memikirkan ASN. Ada petani yang butuh pupuk, buruh yang menunggu kepastian upah, pedagang yang berharap pasar tetap ramai, dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik.
Jantungnya berdegup lebih cepat. TPP, tambahan penghasilan pegawai selama ini menjadi penopang utama ekonomi keluarganya. Gaji pokok yang ia terima cukup untuk kebutuhan dasar, tapi TPPlah yang menutup kekurangan lainnya.
“Ini, Resmi sudah,” kata seorang rekan yang datang sambil meletakkan surat edaran di hadapannya.
Dalam hati, ia berkata, “Ya Allah… ini ujian. Mungkin ini cara-Mu mengajarkan sabar.”
Di luar jendela, ia melihat pedagang gorengan sedang menata dagangannya, sambil sesekali melirik langit yang tampak akan hujan. Arif membayangkan, kalau dagangan itu tidak habis, pendapatan pedagang itu hari ini mungkin hanya cukup untuk makan malam keluarganya.
Seketika pikirannya berubah: “Aku masih lebih beruntung. Aku masih punya gaji tetap, sementara mereka hidup dari ketidakpastian.”
Siang itu, saat jam makan siang, rekan-rekannya mulai membicarakan kabar pemotongan TPP dengan nada kecewa.
“Kita kerja sudah capek-capek, malah dipotong,” keluh salah satu temannya.
“Kerja keras nggak dihargai,” keluh salah satu pegawai.
“Iya, kita yang dikorbankan terus,” timpal yang lain.
Arif meneguk air mineral, lalu menatap mereka. “Teman-teman, aku juga sedih. Tapi coba lihat di luar sana, petani padi, buruh pabrik, pedagang keliling, pendapatan mereka nggak tentu. Pemerintah juga harus memikirkan mereka. Kalau ini untuk kepentingan bersama, mungkin ini jalan yang harus kita ikhlaskan.”
Arif tersenyum kecil, lalu berkata pelan, “Aku juga kaget awalnya. Tapi kalau dipikir lagi, mungkin ini memang yang terbaik. Anggaran kan harus dibagi rata untuk semua. Kita masih punya gaji bulanan yang jelas, sementara banyak orang di luar sana pendapatannya nggak pasti.”
Sejenak, meja itu terdiam. Tak ada yang menjawab, tapi semua menunduk. Kata-kata Arif seperti meredakan bara di hati mereka.
Ucapannya membuat meja itu sejenak terdiam. Memang benar, di luar kantor, banyak profesi lain yang hidup dari hari ke hari tanpa kepastian penghasilan.
Malamnya, di rumah, Arif menceritakan kabar itu pada istrinya. Ia mengira sang istri akan kaget, tapi ternyata jawabannya membuat hatinya hangat.
“Rezeki itu luas, Mas. Kadang lewat gaji, kadang lewat hal lain yang tak kita duga. Kalau ini untuk kebaikan bersama, kita ikhlaskan saja.”
Arif tersenyum. Kopi hangat di meja dapur terasa lebih nikmat malam itu. Bukan karena gulanya yang pas, tapi karena hatinya yang mulai lapang. Ia sadar, ikhlas memang tak mudah, tapi dengan hati yang tenang, semua akan terasa cukup.
Sang istri terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat. “Mas, uang itu hanya titipan. Kalau rezeki kita dikurangi di sini, mungkin Allah akan mengganti lewat jalan lain. Kita ikhlas saja, ya?”
Arif menatap mata istrinya. Ada ketulusan di sana, ada kekuatan yang mengalir. Hatinya yang sempat sempit kini terasa lapang. Ia sadar, ikhlas memang tidak mudah, tapi dengan hati yang rela, hidup akan tetap berjalan—dan rezeki akan selalu ada, entah dari mana datangnya.
Di luar, hujan turun perlahan, membasahi bumi. Seperti doa yang jatuh dari langit, menumbuhkan keyakinan baru di hati Arif: bahwa setiap pemotongan bukanlah akhir, melainkan pintu menuju rezeki yang berbeda.
Hanya Sekedar Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri
