Cikalpedia
Cerpen

Di Antara Kabut dan Kenyataan

Namanya Rama.

Sepuluh tahun lalu, ia adalah legenda hidup di unit kegiatan pecinta alam kampusnya. Senior yang tangguh, dikenal sebagai jago survival, pendaki sejati, dan lebih dari itu: seorang kawan yang tak tergantikan.

Di masa itu, Rama tak pernah ragu membagi logistik terakhirnya demi rekan yang kelelahan. Ia paling cepat bangkit saat ada yang tersesat, dan paling sabar menuntun yang tertinggal.

Di malam-malam beku di hutan Gunung Ciremai, ia duduk melingkar bersama mereka, menyalakan api unggun, dan menyelipkan tawa di antara kisah-kisah horor dan filosofi hidup ala anak mapala.

“Satu untuk semua, semua untuk satu. Kita ini satu tenda, senasib sepenanggungan.” Begitu katanya, malam itu.

Waktu berjalan cepat. Sejak lulus, hidup membawa mereka ke arah berbeda.

Kini Rama duduk sendiri di sebuah warung kecil, memandangi foto lama dari dompet lusuhnya. Foto mereka—rombongan pendakian terakhir, sepuluh orang berdiri di puncak, tersenyum lebar dengan latar kabut dan langit merah muda fajar.

Di tengah, Rama mengacungkan jempol dengan wajah penuh lumpur dan tawa.

Ia menarik napas dalam. Sudah sepuluh tahun.

Beberapa kawannya sekarang sibuk dengan pekerjaan. Ada yang sudah pindah ke luar negeri. Ada yang menikah dan tak pernah muncul lagi di grup WhatsApp. Grup itu sendiri kini lebih banyak hening, hanya aktif saat lebaran—dan itupun dengan pesan template: “Mohon maaf lahir batin, semoga sehat semua.”

Dulu, mereka bilang akan naik gunung bareng tiap tahun. Nyatanya, janji tinggal janji.

Di dunia nyata, survival bukan soal mencari jejak atau menyaring air kotor. Tapi soal membayar cicilan, bertahan dari tekanan kerja, merawat orang tua, atau menyembunyikan luka batin agar tetap tersenyum di depan anak.

Baca Juga :  Sehari, Dua Penghargaan Diraih Pj Bupati Kuningan: Aksi Bela Negara dan Kesetaraan Gender

“Survival yang dulu… ternyata belum ada apa-apanya,” gumam Rama lirih, mengaduk kopi hitam yang sudah dingin.

Bukan berarti dia kecewa. Hanya… sesekali ia rindu masa itu. Rindu rasa saling menggenggam tanpa syarat. Di dunia yang sekarang, semua saling menjauh pelan-pelan—bukan karena saling melupakan, tapi karena hidup memaksa mereka memilih jalan masing-masing.

Dan Rama paham.

Ia masukkan kembali foto ke dompet. Berdiri. Langit mulai gelap. Angin sore menyentuh wajahnya seperti sapaan samar dari kabut masa lalu.

Sebelum pergi, ia kirim pesan ke grup lama mereka:

“Ada yang kangen naik bareng nggak? Tahun depan, kita ke basecamp lagi. Nggak harus sampai puncak… asal bareng.”

Centang satu. Centang dua. Tidak ada yang membalas.

Tapi Rama tersenyum.

Dia tahu, mungkin butuh waktu.

Namun, sebagaimana ia pernah memimpin di gelapnya hutan rimba, ia percaya—di antara kabut dan kenyataan, masih ada nyala kecil di hati mereka semua.

Yang perlu hanya satu hal:

Kesetiaan untuk menyalakannya kembali.
Mungkin tidak semua bisa kembali.

Tapi bagi Rama, persahabatan itu bukan soal selalu bersama, tapi soal bagaimana mengenang seseorang dengan rasa hangat—meski tak lagi bisa bicara.

Satu untuk semua, semua untuk satu… kadang hanya hidup di masa lalu.

Dan tak apa. Karena dari masa lalu itulah Rama belajar satu hal penting:

Survival yang sejati bukan tentang bertahan hidup di alam liar. Tapi bertahan menjadi manusia baik, meski dunia berubah menjadi liar.

Rama mendesah.

“Kita pernah satu tenda,” gumamnya. “Kita pernah saling jaga di tengah badai.”

Kini badai itu datang dalam bentuk lain: tagihan, konflik, kesalahpahaman, gengsi, dan ego.

Dan tak ada lagi yang mau bertahan bersama.

Hanya Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri

Related posts

Dalam dua Bulan, Polres Kuningan Ungkap 9 Kasus Narkoba, 11 Tersangka Diamankan

Cikal

Ujikom Sekda Kuningan kembali Digelar, Zul: Semuanya Bagus

Ceng Pandi

Gadai Mobil Rental, AS Asal Singkup Dijerat Penggelapan

Alvaro

1 comment

Brad Petralba 03/11/2025 at 00:43

Pretty! This was a really wonderful post. Thank you for your provided information.

Reply

Leave a Comment