CIREBON – Di sudut barat daya Kota Cirebon, berdiri megah sebuah bangunan berwujud gua, namun bukan gua biasa. Ia bukan terbentuk dari proses alam, melainkan dari tangan-tangan manusia yang mengukir batu, air, dan doa menjadi satu karya seni: Tamansari Gua Sunyaragi.
Dikenal sebagai tempat bersemedi para raja dan bangsawan, Gua Sunyaragi menyimpan lebih dari sekadar keindahan arsitektur. Ia adalah perpaduan magis antara spiritualitas, sejarah, dan seni budaya.
Nama “Sunyaragi” berasal dari kata “sunya” yang berarti sepi dan “raga” atau “ragi” yang berarti jasmani—menyiratkan bahwa tempat ini dulunya digunakan untuk menyepi dan mengasingkan diri secara lahir dan batin.
Bukan Sekadar Gua, Ini adalah Taman Jiwa
Saat menapaki jalan batu menuju kompleks Gua Sunyaragi, pengunjung akan disambut susunan bebatuan karang laut yang dipahat sedemikian rupa membentuk lorong, pelataran, hingga bangunan menyerupai kuil.
Namun jangan tertipu, ini bukan sisa dari peradaban Hindu-Buddha. Arsitektur ini adalah hasil sentuhan khas Cirebon: Islam, Jawa, Tionghoa, dan Eropa, semuanya melebur dalam keheningan batu.
Di beberapa sudut, terdapat kolam dan pancuran air, menciptakan suasana teduh nan magis. Taman ini dulunya menjadi tempat raja dan keluarganya mencari ketenangan, mendekatkan diri pada Tuhan, bahkan menyusun strategi politik di tengah badai kekuasaan.
Jejak Panembahan dan Sang Patih Budayawan
Tradisi menyebutkan bahwa Gua Sunyaragi dibangun pada tahun 1526 M, pada masa Panembahan Gusti Ratu Pakungwati I dari Keraton Kasepuhan.
Namun dalam catatan sejarah lain, kompleks ini mulai dibangun secara terstruktur pada tahun 1703 M atas gagasan Pangeran Arya Cirebon, seorang patih yang juga dikenal sebagai sejarawan dan budayawan.