Cikalpedia
Opini

Teknologi Melesat, Mental Guru jangan Tertinggal

Dr. Nanan Abdul Manan, M.Pd.

Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi, para guru Indonesia kini tengah dikepung oleh gelombang pelatihan, workshop, hingga seminar yang membahas isu-isu canggih: Kecerdaan Artificial, machine learning, Koding, hingga strategi Pembelajaran Mendalam. Rasanya hampir setiap minggu ada undangan baru yang mendarat di grup WhatsApp guru: webinar tentang ChatGPT, workshop desain pembelajaran digital, atau lokakarya coding untuk anak usia dini. Sekilas, ini menandakan kabar baik. Guru semakin “update” terhadap perkembangan zaman, tidak lagi gagap teknologi, dan terbuka terhadap inovasi. Namun di balik itu, ada fenomena lain yang tak kalah penting: kesehatan mental guru yang mulai rapuh. Mereka hadir di banyak ruang belajar, tetapi keluar dengan wajah lelah, penuh pesimisme, dan kembali ke kelas dengan pola lama-business as usual.

Fenomena ini mirip dengan seseorang yang berlari maraton tanpa pernah tahu garis finis. Guru terus dijejali dengan pengetahuan teknis, tetapi jarang sekali diajak untuk mengolah sisi dalam dirinya: kesehatan mental, motivasi, resiliensi, dan mindset. Alhasil, alih-alih semangat, yang muncul justru kelelahan kolektif. Kelelahan ini membuat guru hanya mengikuti pelatihan demi “checklist”: dapat sertifikat, dapat tunjangan, dapat angka kredit. Tapi setelahnya? Metode mengajar tetap monoton. AI hanya jadi jargon. Coding sebatas tren. Deep learning hanya istilah asing yang tidak pernah menyentuh praktik. Mengapa? Karena mentalitas growth mindset belum berakar. Guru lebih banyak berpikir, “Apa yang saya dapat dari ikut pelatihan ini?” ketimbang, “Bagaimana saya bisa berkembang untuk memberi yang terbaik bagi murid?”

Mental Guru, Penentu Indonesia Emas

Kita sering mendengar jargon besar: Indonesia Emas 2045. Sebuah visi bahwa satu abad merdeka nanti, Indonesia akan menjadi negara maju, adil, dan makmur. Namun, mari realistis: siapa yang akan membentuk generasi emas itu kalau bukan guru? Dan bagaimana mungkin cita-cita besar itu tercapai kalau guru yang membimbing anak-anak bangsa justru mentalnya rapuh?

Baca Juga :  Menjaga Tradisi, Kuningan Bawa Kongco Dewa Bumi ke Kirab Budaya Di Tegal

Perubahan Pendidikan yang diharapkan berawal dari kualitas guru. Kualitas guru adalah seperangkat kompetensi dan skil yang mencerminkan kekuatan performa diri, penerimaan lingkungan sosial, memiliki nalar adaptif, dan menjadi pengendali dalam segala perubahan zaman. Kualitas guru juga secara komprehensif hadir dalam bentuk soft skill dan hardskill; ia tidak sekedar tahu tentang apa yang menjadi tanggungjawab dirinya sebagai pendidik atau pengajar, akan tetapi lebih dari itu ia mampu mendapatkan makna dalam setiap pengabdian dirinya sebagai guru di manapun berkiprah.

Fakta di lapangan sering kali menunjukkan guru lebih sibuk dengan administrasi daripada inovasi. Lebih fokus mencari tambahan penghasilan daripada pengembangan diri. Lebih memilih aman daripada mencoba hal baru. Dalam kondisi seperti ini, visi Indonesia Emas hanya akan menjadi mimpi kosong. Negara boleh menggelontorkan dana besar untuk digitalisasi sekolah, kurikulum boleh terus berganti nama, pelatihan boleh bertubi-tubi diadakan. Tapi kalau mental guru tetap lembek, tak ada yang benar-benar berubah di ruang kelas.

Growth Mindset: Obat yang Terlupakan

Di sinilah kita perlu menekankan kembali pentingnya growth mindset bagi guru. Growth mindset bukan sekadar kata kunci motivasi, tetapi sebuah prinsip hidup: keyakinan bahwa kemampuan bisa terus berkembang lewat usaha, strategi, dan pembelajaran dari kegagalan. Guru dengan growth mindset tidak takut mencoba hal baru, meskipun gagal. Ia melihat teknologi bukan sebagai ancaman, melainkan peluang. Ia menularkan semangat itu kepada murid-muridnya: bahwa belajar adalah proses seumur hidup, bukan sekadar mengejar nilai.

Growth Mindset mengarahkan kepada guru untuk senantiasa yakin bahwa perubahan besar bermula dari perilaku sederhana yang konsisten dilakukan. Konsistensi perilaku keseharian adalah habituasi yang menancapkan emosi kuat tentang ikhtiar perubahan masa depan yang lebih baik. Menghargai proses, memaknai kegagalan sebagai harga sebuah pembelajaran, menumbuhkan positif vibes dalam segala perasaan, pikiran, perilaku, dan kebiasaan sehari-hari. Mengenal diri dengan segala kompetensi yang dimiliki, memahami kelebihan dan kekurangan diri, menghargai atas segala usaha yang dilakukan, dan mengaktualisasikan diri pada ranah sosial sebagai cermin pribadi bermanfaat untuk sesama.

Baca Juga :  Paskibra SMPN 1 Lebakwangi Angkat Tema Stop Bully, Tuai Pujian Bupati

Pembentukan growth mindset adalah fondasi mental. Mental sehat bagi para guru sangat berdampak pada tatanan pembelajaran dan pengajaran di kelas; mencipatakan dinamisasi kelas, membuka ruang pengembangan keterampilan murid, menghargai keragaman potensi murid, menempatkan murid sebagai pribadi masa depan, mengkreasi segala media pendukung untuk menghantarkan kebermaknaan dalam pembelajaran, dan menghadirkan suasana kelas yang penuh optimis.

Antara Materi dan Misi

Masalah lain yang menjerat adalah orientasi guru yang terlalu materialistik. Tidak salah mencari penghasilan tambahan atau berharap kesejahteraan lebih baik—itu hak dasar setiap pekerja. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika motivasi utama bekerja sebagai guru hanyalah angka gaji. Seorang guru yang mengajar semata untuk menunaikan kewajiban administratif akan sulit menemukan makna. Sebaliknya, guru yang bekerja dengan kesadaran misi—bahwa ia sedang membentuk masa depan bangsa—akan menemukan energi yang jauh lebih besar.

Mungkin inilah krisis terbesar kita hari ini: guru kehilangan makna. Mereka terjebak rutinitas, lelah mengejar target administratif, tetapi tidak pernah benar-benar merasa sedang melakukan sesuatu yang besar.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu menyeimbangkan pelatihan teknis dengan pelatihan mental. Jangan hanya ajarkan Koding dan KA, tapi latih juga kemampuan refleksi, resilien, dan coaching mindset bagi guru. Kedua, kepala sekolah harus berperan sebagai pemimpin pembelajaran yang menularkan optimisme, bukan hanya manajer administrasi. Budaya sekolah yang sehat lahir dari kepemimpinan yang visioner. Ketiga, guru sendiri harus berani keluar dari zona nyaman. Jika orientasi bekerja hanya pada gaji, maka setiap perubahan akan terasa sebagai beban. Tapi jika orientasi bekerja pada misi mulia, maka setiap perubahan akan terasa sebagai peluang.

Penutup: Menyelamatkan Masa Depan

Baca Juga :  Kewargaan Digital: Tantangan Karakter dan Demokrasi dalam Era Teknologi untuk Anak Sekolah Dasar

Kemajuan teknologi memang tak bisa dibendung. KA akan semakin pintar, kurikulum akan semakin kompleks, dan dunia kerja akan semakin kompetitif. Namun, semua itu tidak ada artinya tanpa guru yang kuat secara mental, resilien, dan berprinsip growth mindset.

Indonesia Emas 2045 bukan sekadar cita-cita di atas kertas. Ia hanya mungkin terwujud jika guru—orang yang setiap hari bersentuhan dengan masa depan bangsa—benar-benar siap, bukan hanya secara pengetahuan teknis, tapi juga secara mental. Jika hari ini guru masih mengajar business as usual di kelas, maka kita patut khawatir: jangan-jangan Indonesia Emas hanya akan jadi slogan kosong. Namun jika kita berani berbenah, menyehatkan mental guru, dan menanamkan growth mindset sebagai fondasi, maka jalan menuju 2045 akan lebih terang. Karena sejatinya, teknologi bisa membeli kecepatan, tetapi hanya mentalitas manusialah yang bisa membeli masa depan.

Oleh

Dr. Nanan Abdul Manan, M.Pd.

Praktisi dan Pemerhati Pendidikan Kuningan

Related posts

LSM Korakap Geruduk Dinkes Kuningan, Soroti Dugaan Korupsi Dana BOK Miliaran Rupiah

Cikal

Muncul Dugaan Kades di Kecamatan Darma Hadiri Pertemuan dengan Salah Satu Paslon

Cikal

Paskibra SMPN 1 Lebakwangi Angkat Tema Stop Bully, Tuai Pujian Bupati

Alvaro

Leave a Comment