Cikalpedia
Cerpen

Lintut, Pitak, Gambreng, dan Nama-Nama yang Membawa Pulang

Siang itu grup WhatsApp alumni SD “Pringkasap 01” tiba-tiba riuh. Notifikasi berdenting tanpa jeda.
“Gambreng! Bos kita Yanto mana nih?”
“Turarakim pitak hadir!”
“Baka abah Warso cek in…”
“Minpet siap lapor!”
“Minpet, bu guru Lina masih ingat kita nggak ya?”
“Lintut! wkwk…”

Panggilan masa kecil yang dulu sering bikin satu kelas tergelak, kini justru jadi jembatan pulang ke kenangan. Tak ada yang malu, tak ada yang prote, semua tertawa menikmati nostalgia yang jarang muncul setelah puluhan tahun berpisah.
Dulu mereka satu sekolah dengan seragam putih merah kebesaran, sandal jepit putus, dan rambut yang dipotong bapak masing-masing. Sekarang hidup membawa mereka ke mana-mana.

Yanto, si “bos”, merantau jadi kontraktor di Cikarang.
Turakim Pitak kerja di pelayaran dan lebih banyak di laut daripada darat.
Lintut jadi Guru
Minpet jadi Petani yang sukses
Ada juga Inah yang tambah cantik aja di usia tuanya

Tapi saat panggilan masa kecil dilontarkan di grup, mereka semua seperti anak umur sepuluh tahun lagi, tak ada gelar, tak ada jabatan, tak ada gengsi.

“Gimana kalau kita reuni?” tulis Lintut.
“Setuju! Tapi banyak yang di luar kota bahkan luar negeri. Ribet gak ya?” kata Minpet.
“Santai lah, jaman sekarang video call bisa 100 orang,” sahut Pitak.
“Tapi ketemu langsung beda rasanya…” tulis Gambreng.

Akhirnya mereka sepakat: reuni tahun depan, di kampung halaman. Tempatnya masih ada, SD mereka kini sudah renovasi, tapi lapangan tempat mereka main kasti masih sama. Bahkan pohon asem tempat mereka dulu sembunyi saat upacara pun masih tegak, walau kini sudah jauh lebih tinggi.

“Kalau aku belum bisa pulang, aku nyumbang konsumsi,” kata Kandar dari Jepang.

Baca Juga :  Pemain Sepakbola Putri Kuningan Jalani Tes Kesehatan, Pasang Target Tinggi di Porprov

Tak ada yang tersinggung, tak ada yang merasa lebih. Justru mereka saling menawarkan bantuan.

Yang sukses finansial siap jadi donatur.
Yang tinggal di kampung siap jadi panitia lokal.
Yang di luar negeri izin virtual join lebih dulu tapi janji pulang kalau bisa.
Yang hidupnya pas-pasan tak dipaksa, mereka tahu, pertemanan masa kecil tak boleh jadi beban.

Malam semakin larut. Tapi grup tetap hidup.
“Eh, inget gak dulu kita pernah kabur bareng cuma gara-gara takut disuntik waktu posyandu sekolah?”
“Inget! Yang nangis duluan siapa? Gambreng apa Pitak?”
“Bohong klo bilang gak nangis, semua nangis! Haha!”

Tawa mereka menembus jarak ribuan kilometer. Masing-masing menunduk menatap layar, tapi hati mereka duduk di bangku kayu sekolah yang catnya sudah mengelupas.

Dan di sela obrolan, ada rasa hangat: rasa bahwa masa kecil mereka tak pernah benar-benar pergi. Hidup boleh berpencar, tapi akar mereka tetap bertaut di tanah yang sama.

Reuni bukan soal kumpul makan-makan. Tapi soal pulang sebentar jadi diri sendiri, sebelum hidup memaksa kembali jadi orang dewasa.

Dan malam itu, satu kalimat muncul dari Yanto:
“Teman masa kecil itu bukan cuma kenangan, tapi rumah. Sampai ketemu di kampung halaman, ya. Kita pulang bukan buat pamer, tapi buat ingat kita pernah tumbuh bersama.”

Grup kembali sunyi pelan-pelan, tapi rindu mereka sudah punya janji: mereka akan bertemu, entah lewat pelukan atau layar. Kenangan akan tetap hidup, dengan nama-nama kecil yang tak akan pernah mereka buang.

Hanya Fiksi by Bengpri

Related posts

Operasi Zebra Kuningan Dimulai, Siap-Siap Ditilang ETLE

Cikal

Pegawai Honorer Diintimidasi Jelang Pilkada Kuningan, Bawaslu: Ancaman Tak Diangkat Jadi ASN

Cikal

Khitanan Massal dan Pengobatan Gratis Warnai Baksos Pekat IB di Cilimus

Cikal

Leave a Comment