KUNINGAN — Klaim sukses penghijauan yang belakangan digencarkan oleh PT Puspita Cipta Grup (PCG) di kawasan wisata Arunika Palutungan menuai bantahan tajam. Adalah Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kecamatan Cigugur, Drs. Aang Taufik, M.Si., yang melontarkan kritik pedas. Ia menilai kampanye “hijau” perusahaan tersebut hanyalah narasi kosmetik yang berpotensi menyamarkan fakta alih fungsi lahan berskala besar di kaki Gunung Ciremai.
Dalam beberapa pekan terakhir, pihak pengelola Arunika menyodorkan perbandingan citra satelit tahun 2015 dan 2025 sebagai bukti bahwa kawasan tersebut kini lebih rimbun. Namun, bagi Aang, penyederhanaan visual tersebut merupakan upaya “pembodohan” ekologis yang mengabaikan sejarah panjang pemanfaatan lahan di Palutungan.
Aang meluruskan persepsi publik yang digiring untuk percaya bahwa lahan tersebut dulunya rusak. Menurutnya, sejak awal 1980-an, kawasan Palutungan ke bawah adalah sentra pertanian sayuran yang sangat produktif. Karakter pertanian sayur memang menuntut cahaya matahari penuh, sehingga vegetasi pohon besar secara alami tidak mendominasi bentang alam tersebut.
“Salah besar jika dikatakan kawasan itu dulunya lahan tandus. Warna coklat pada citra satelit tahun 2015 yang mereka pamerkan itu merepresentasikan siklus tanam dan kondisi kemarau, bukan degradasi lahan,” tegas Aang dalam rilisnya, Sabtu (20/12/2025).
Ia menambahkan, jika publik melihat citra satelit pada Juni 2014, warna hijau justru tampak dominan karena aktivitas pertanian sedang berlangsung normal. Bagi Aang, membandingkan “coklatnya” lahan pertanian di musim kemarau dengan “hijaunya” taman wisata buatan di tahun 2025 adalah perbandingan yang tidak jujur secara intelektual.
Hal yang jauh lebih substansial bagi Aang adalah hilangnya fungsi ekologis asli lahan tersebut. Ia memperkirakan sedikitnya delapan hektare lahan pertanian kini telah berubah menjadi bangunan permanen, mulai dari hotel, wahana wisata, hingga infrastruktur beton.
Alih-alih penghijauan, yang terjadi sebenarnya adalah transformasi tata guna lahan. Aang mempertanyakan apakah perubahan masif ini didasarkan pada manajemen risiko lingkungan yang matang atau sekadar mengejar manajemen manfaat ekonomi semata.
