KUNINGAN — Suasana khidmat menyelimuti Pendopo Kabupaten Kuningan, Minggu (24/8/2025) pagi. Ritual Babarit, sebuah tradisi syukur yang mengakar jauh dalam ingatan kolektif masyarakatnya, kembali digelar.
Tahun ini, prosesi sakral itu menjadi puncak dari rangkaian peringatan Hari Jadi ke-527 Kuningan, bertransformasi menjadi lebih dari sekedar acara seremonial, namun sebuah pernyataan tentang jati diri.
Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si., dengan pakaian adat lengkap, menegaskan makna mendalam di balik ritual tersebut. “Babarit ini tasyakur atas rahmat dan keberkahan dari Allah SWT, sekaligus upaya mempererat silaturahmi, melestarikan tradisi, budaya, dan warisan leluhur,” ujarnya di hadapan warga yang memadati pendopo.
Namun, bagi Dian, Babarit bukanlah nostalgia. Ia adalah kompas untuk menghadapi masa depan. Dengan penuh keyakinan, ia mengingatkan kembali filosofi silih asah, silih asih, silih asuh, saling mencerdaskan, menyayangi, dan membimbing. “Insyallah dengan kerukunan dan kebersamaan, kita bisa menghadapi berbagai persoalan,” tambahnya, menekankan kearifan lokal Sunda itu sebagai perekat sosial yang tangguh.
Inti dari prosesi Babarit adalah penyatuan air yang diambil dari empat kabuyutan atau tempat sakral yang mengitari Kuningan. Air dari Cihulu di barat, Cikahuripan Cilimus di utara, Indrakila Karangkancana di timur, dan Jamberama Selajambe di selatan, dibawa dalam wadah khusus lalu disatukan. Ritual ini adalah metafora yang powerful: penyatuan seluruh sumber kehidupan dan energi dari segala penjuru wilayah untuk keselamatan dan kemakmuran bersama.
Kekhidmatan prosesi ini diperkuat oleh iringan gamelan, tari kendi air yang lembut gemulai, serta lantunan kidung sakral dari juru kawih yang menyentuh kalbu. Setiap tetes air yang disawerkan bukanlah percikan biasa, melainkan doa dan harapan yang dirupakan.
Sebagai puncak dari simbolisme berbagi, Bupati dan Wakil Bupati secara langsung membagikan tumpeng, hasil bumi, dan nasi pincuk kepada masyarakat. Ini adalah gambaran nyata dari silih asuh, di mana pemimpin dan yang dipimpin duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, berbagi rezeki dalam satu ikatan kebersamaan.
Suasana pendopo semakin hidup namun tetap religius dengan alunan Tarawangsa dan kecapi suling yang mendayu, diikuti kidung Sang Golewang yang membawa setiap yang hadir larut dalam kontemplasi dan kebanggaan akan warisan budayanya.
Acara yang dipadati masyarakat dari berbagai penjuru ini dihadiri pula oleh jajaran Forkopimda, kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), serta camat se-Kabupaten Kuningan. Kehadiran mereka bukan hanya memenuhi undangan, melainkan sebuah pernyataan politik budaya bahwa melestarikan tradisi adalah tugas bersama, sebuah konsensus untuk tidak membiarkan pusaran zaman melupakan warisan leluhur yang telah membentuk mereka.
Babarit tahun ini adalah sebuah pengingat. Di tengah derap pembangunan dan modernitas, Kuningan justru menemukan kekuatannya dengan berbalik kepada tradisi, merawat air dan ingatan yang disimpannya. (ali)
