Cikalpedia
Cerpen

Antara Kata dan Tangan

Di ruang kerjanya yang lengang, Bupati Diraya duduk termenung. Di luar jendela, langit sore itu berwarna oranye, anak-anak berlarian di lapangan, dan azan magrib mulai terdengar sayup. Namun di dalam dadanya, riuh lain bergemuruh.

Pagi tadi, ia membaca komentar pedas di media sosial. Seorang warganya menuliskan kalimat kasar, menyebutnya bupati laknat, tak menghargai leluhur, tak peduli tradisi.

Kata “sia” berulang-ulang, menusuk seperti duri. Diraya menatap layar lama sekali. Setiap huruf seperti tamparan.

Ia manusia, punya hati. Ia terluka. Tapi ia juga bupati, pemimpin yang dituntut kuat meski dihujani cacian.

Dalam benaknya, ia mencoba memahami, mungkin si warga kecewa, mungkin rindu tradisi Saptonan, pacuan kuda dan panahan warisan leluhur yang dulu ia sendiri gagas kembali agar tetap hidup di tanah kelahiran.

Padahal, jauh di lubuk hatinya, Diraya pun merindukan riuh parade kuda dan sorak tawa warga. Namun ia tahu, kondisi berbeda. APBD sedang tidak sehat.

Banyak hutang pemerintah yang harus segera dibayar, ditunggu oleh para pelaku usaha agar roda ekonomi berputar kembali. Ia tak ingin pesta budaya harus dibayar dengan penderitaan rakyat yang menunggu kepastian ekonomi.

Sore itu, kabar baru datang, seorang pendukungnya tak tahan, melampiaskan emosi dengan memukul si pengkritik. Wajah lawan lebam, keributan pecah.

Diraya tercekat. Ia tak pernah meminta pembelaan macam itu. Loyalitas yang berubah jadi kekerasan justru menambah luka.

Di kursinya, Diraya bergulat dengan dilema. Haruskah ia marah pada warganya yang mencaci? Atau pada pendukungnya yang main tangan? Atau justru pada dirinya sendiri yang tak mampu meredam semuanya sejak awal?

Ingatan melintas, nasihat ayahnya dulu. “Jadi pemimpin itu seperti menunggang kuda, Nak. Tarik terlalu keras, kuda sakit. Lepas begitu saja, kau jatuh. Seimbangilah.”

Baca Juga :  Puspa Siliwangi, Malioboro-nya Kuningan Segera Hadir

Diraya menutup mata. Kritik memang cambuk, dan loyalitas adalah pelana. Ia harus menjaga keduanya. Jangan sampai cambuk berubah jadi sumpah serapah, atau pelana berubah jadi tinju.

Ia teringat bagaimana kegiatan-kegiatan budaya yang masih bisa berjalan selama ini justru atas simpati dan dukungan para perantau.

Dari rantau, mereka mengirim bantuan, berharap kampung halaman tetap hidup dengan irama tradisi. Itulah bukti bahwa cinta pada tanah kelahiran tak pernah padam, meski keterbatasan membelenggu.

Diraya pun sadar, ia sendiri mencintai tanah kelahirannya dengan sepenuh jiwa, dirinya ingat saat menggagas Kabupaten Angklung, Pacuan Kuda tradisional dan banyak hal yang lainnya. Cinta itu tak boleh kalah oleh caci maki ataupun kekerasan.

Beberapa hari kemudian, kejadian tak terduga datang. Si pengkritik yang sempat melontarkan kata-kata kasar akhirnya datang ke pendopo. Wajahnya masih menyimpan bekas luka, tapi suaranya lirih, penuh penyesalan.

“Pak Bupati, maafkan saya. Emosi saya lebih duluan daripada pikiran. Saya hanya rindu Saptonan, hanya ingin tanah kelahiran saya tetap punya jati diri.”

Diraya menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. Ia mengulurkan tangan.

“Kamu rakyatku. Kalau rakyatku marah, aku harus mendengar. Kalau rakyatku salah, tugasku bukan membenci, tapi memaafkan. Kita sama-sama cinta tempat ini, kan?”

Air mata menetes di wajah si pengkritik. Ruang pendopo menjadi saksi: antara kata yang pernah melukai dan tangan yang pernah mengayun tinju, akhirnya ada jalan damai.

Dan dalam hati Diraya tahu, ujian seorang bupati bukan pada seberapa keras ia bisa membalas, tetapi pada seberapa luas ia bisa memaafkan. Karena cinta pada tanah kelahiran lebih besar daripada segala luka.

Hanya Fiksi yang Terinspirasi dari kejadian-kejadian di sekitar Kita yang mungkin bisa terjadi by Bengpri.

Baca Juga :  Di CFD, Mahasiswa Unisa Kuningan Ajak Masyarakat Percaya Diri Berbahasa Inggris

Related posts

Putusan MK 135 Dinilai Paradoksal, Uu Nurul Huda: Ini Rumitkan Ketatanegaraan

Cikal

SLB Taruna Mandiri Genap 16 Tahun, Ini Kata Pj Bupati Iip

Cikal

Ulama dan Umaro Kompak! Pendopo Kuningan Gema Shalawat

Cikal

Leave a Comment