Sejarah yang hampir terlupakan
Jika kita melihat sejarah bagaimana saptonan itu diperingati di Kuningan, maka nama Dr. Dian Rahmat Yanuar M.Si yang saat ini menjadi Bupati tidak bisa dikesampingkan. Beliau adalah sosok dibelakang layar kemudi yang menginisiasi salah satu giat pelestarian budaya daerah yang bernama Saptonan hingga bisa terselenggara 9 kali berturut – turut. Jadi sangat ironis memang jika di zaman beliau sendiri saat menjadi Bupati Saptonan belum bisa digelar kembali. Namun dengan adanya fakta demikian saya menduga beliau sedang mempersiapkan kembali saptonan dengan tajuk yang lebih meriah pasca membaiknya kondisi fiskal daerah.
Bagi yang belum tahu. Dikutip dari pelbagai sumber Saptonan adalah tradisi leluhur dari Kuningan, Jawa Barat, yang berupa lomba ketangkasan menunggang kuda sambil melemparkan tombak ke sasaran. Tradisi ini adalah bagian dari peringatan Hari Jadi Kuningan, yang menampilkan parade keprajuritan, pertunjukan seni, dan lomba panahan sebagai simbol rasa syukur dan pelestarian warisan budaya leluhur.
Acara dimulai dengan Tari Persembahan dan Tari Panahan, Doa, dan Pembacaan Sinopsis Sapton. Dalam gelaran tersebut, di ceritakan tentang Kerajaan Kajene (Kuningan) kembali menampakan diri dengan raja, atau adipati, patih, mantri jero, hingga para tumenggungnya.
Dengan pakaian jaman kerajaannya, tampak lima Kawadanan beserta pasukannya beriringan satu persatu untuk menampilkan atraksi seni, seba dan keunikan lainnya kepada bupati atau raja. Dilanjutkan laporan dari pupuhu demang dan langsung di balas oleh bupati.
Selanjutnya, penyerahan seba dari tiap kawedanan dan penyerahan simbolis tombak dan panah kepada Jugul dan peserta panahan oleh bupati/raja. Serta atraksi kejuaraan ketangkasan berkuda, diakhiri dengan panahan tradisional.
Menerka Akhir Cerita
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Mungkin kita perlu kembali pada prinsip restorative justice: bukan mencari siapa yang paling salah, tapi bagaimana semua pihak bisa belajar dan berdamai. Warga yang berkomentar kasar bisa meminta maaf atas ucapannya yang kelewat batas. Loyalis yang terpancing emosi bisa mengakui kesalahannya menggunakan kekerasan. Dan bupati, sebagai pemimpin, punya kesempatan emas untuk menunjukkan kebesaran hati dengan memfasilitasi rekonsiliasi.
Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang siapa yang berhak bicara, tapi juga bagaimana kita saling mendengar. Kritik yang bijak adalah kritik yang beradab, dan loyalitas yang sejati adalah loyalitas yang tetap waras.
Mari belajar dari kasus ini: jaga jari, jaga kata, dan jaga tangan. Agar perbedaan pandangan tidak berubah jadi permusuhan, dan agar Kuningan tetap jadi rumah yang hangat untuk semua warganya.
Segelas liberika Cipasung di tanganku akhirnya habis. Rasa pahitnya mengingatkan: hidup selalu punya sisi getir. Tapi jika kita mampu meneguknya dengan sabar, yang tertinggal justru ketenangan. Semoga begitu pula cara kita mengelola kata dan emosi di ruang publik agar tak ada lagi luka yang sia-sia.
