Nada serupa datang dari Kyai Edin Holidin. “Sejak Pilkada kami ikut mendukung. Kini guru-guru dan ulama yang sudah meluangkan waktu malah dipermalukan,” katanya keras sebelum meninggalkan forum.
Ikhsan Marzuki dari Gerakan KITA bahkan sudah menyiapkan bahan kajian internasional dari laporan USAID–UNDP soal LGBT di Asia untuk diserahkan. “Kalau Bupati punya kajian yang lebih lengkap, mestinya bisa dibagikan. Ini kesempatan emas untuk saling berbagi informasi, bukan diabaikan,” ujarnya.
Koordinator APIK, Andi Budiman, mengingatkan keterbatasan anggaran daerah mestinya menjadi alasan untuk membuka kolaborasi, bukan menutup diri. “Penyakit sosial bisa diatasi dengan program kolaboratif. Tanpa biaya besar, asal ada kemauan politik,” tegasnya.
Kemarahan FMPK bukannya tanpa dasar. Isu serupa sudah tiga kali mereka bawa ke DPRD, menghadirkan dinas terkait. Hasilnya nihil. Hingga kini Pemda belum punya roadmap, strategi, maupun program konkret untuk merespons maraknya komunitas LGBT, peredaran miras, dan penyalahgunaan narkoba di Kuningan.
Bagi FMPK, peristiwa Jumat itu bukan cuma kegagalan teknis, melainkan cermin dari tata kelola birokrasi yang amburadul dan rendahnya empati pemimpin daerah. “Ini soal martabat rakyat yang diremehkan,” kata Luqman Maulana sebelum membubarkan forum.
FMPK berjanji tak berhenti di sini. Mereka akan melanjutkan konsolidasi lintas elemen di luar jalur formal pemerintah. (Ali)
