Di Antara Kebenaran dan Fitnah
Namun Damar tak tinggal diam. Lewat konferensi pers, ia menyampaikan klarifikasi langsung. Ia tak ingin melawan fitnah dengan kemarahan, tapi dengan kejelasan.
“Saya, Damar Kurnia, tidak pernah meminta uang kepada siapapun lewat WhatsApp. Saya percaya, masyarakat desa cukup cerdas untuk membedakan suara saya dari tipu daya digital.”
Ia juga mengirimkan tim dari desa dan relawan muda ke dusun-dusun untuk memberi edukasi soal keamanan digital. Ia tahu, perang kali ini bukan di jalan raya, tapi di jaringan.
Langkah Diam Sang Istri
Di balik semua itu, ada sosok yang tak banyak bicara, namun selalu berjaga: Hayati, sang istri.
Ia mengumpulkan ibu-ibu PKK di desa, tokoh perempuan, hingga relawan media sosial. Dari balik layar, ia ikut menjaga nama baik suaminya dengan ketulusan. Ia tahu, kadang yang diperlukan untuk melawan kejahatan bukan pedang, tapi cahaya.
“Wibawa tak akan runtuh hanya karena fitnah,” katanya lirih pada suaminya. “Selama kamu tetap jujur dan bekerja untuk rakyat, bayangan itu akan hilang oleh sinar pagi.”
Serangan itu memang mengguncang. Tapi rakyat yang benar-benar mengenal siapa Kepala Desa mereka, tahu siapa yang sedang berjuang dan siapa yang sedang bermain bayangan.
Karena pada akhirnya, pemimpin sejati diuji bukan saat ia dielu-elukan, tapi saat ia difitnah dalam diam. Dan Damar memilih diam yang bergerak, bukan marah yang membakar.
Hanya Fiksi Sembari Ngopi by Bengpri