KUNINGAN – Aroma mesiu di lereng Gunung Ciremai semakin menyengat. Aksi ugal-ugalan dalam proyek pematangan lahan di kawasan vital ekologis kembali memantik amarah publik dan memaksa Pemerintah Kabupaten Kuningan turun tangan. Sebuah pembangunan akses jalan baru yang menghubungkan area wisata kuliner populer, Arunika di Desa Cisantana, menuju Desa Pajambon lokasi yang hanya sepelemparan batu dari objek wisata alam Lembah Cilengkrang itu kini menjadi pusat sorotan.
Proyek yang terkesan ‘misterius’ dan masif ini, diduga kuat dilakukan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah tata ruang yang berlaku, mengabaikan fakta bahwa kawasan tersebut adalah zona merah rawan bencana sekaligus jantung resapan air Kuningan.
Pemerintah Daerah Kuningan tidak tinggal diam. Pergerakan cepat dilakukan mengingat lokasi pembangunan yang berada di punggung gunung tersebut berhadapan langsung dengan ancaman geologi dan hidrologi.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kuningan, Indra Bayu Permana, dengan nada tegas memberikan peringatan keras. Dalam pernyataannya pada Senin (8/12/2025), Ibe sapaan akrab Indra Bayu Permana menyoroti bahwa setiap intervensi dan perubahan bentang alam di kawasan pegunungan harus dipertimbangkan secara matang dan tidak boleh dilakukan secara serampangan.
Menurutnya, aktivitas pematangan lahan yang masif ini memiliki potensi besar untuk secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya longsor dan banjir bandang, terutama jika tanpa didasari oleh kajian teknis yang mendalam dan pengawasan yang ketat dari otoritas terkait.
“Apapun bentuk kegiatannya, harus ada koordinasi dari awal yang menyeluruh, mulai dari proses perizinan formal hingga pengkajian aspek teknis di lapangan. Kawasan Ciremai ini memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, baik dilihat dari parameter kemiringan lereng yang ekstrem, kondisi geologis tanahnya yang labil, maupun fungsinya yang krusial sebagai area konservasi dan resapan air,” ujar Ibe, menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi.
Ibe menambahkan, pembukaan lahan hijau yang tidak didukung oleh Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) atau kajian dampak lingkungan yang memadai adalah pemicu utama bencana, khususnya saat musim penghujan tiba dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Ia memberikan contoh konkret, merujuk pada serangkaian kejadian longsor tragis di berbagai daerah perbukitan yang bermula dari praktik alih fungsi lahan yang tidak terkontrol.
“Ketika fungsi hutan sudah tidak dijaga atau terjadi alih fungsi lahan secara masif dan brutal, maka hujan lebat yang normal sekalipun bisa menjelma menjadi pemicu bencana yang mematikan. Namun, sejatinya, faktor utamanya adalah kondisi alam di bawah permukaan yang tidak lagi memiliki daya dukung untuk menahan volume air. Ini adalah bom waktu yang harus kita waspadai bersama,” katanya, menggambarkan situasi genting yang mengintai.
