KUNINGAN – Proses Open Bidding (Seleksi Terbuka) untuk jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kuningan terus menuai sorotan. Kritik bermunculan dari berbagai kalangan yang menilai proses tersebut sebagai pemborosan anggaran, lantaran diperkirakan menghabiskan dana nyaris setengah miliar rupiah.
Menanggapi hal itu, Bupati Kuningan Dian Rachmat Yanuar memberikan penjelasan melalui sebuah podcast yang digelar oleh tim media cikalpedia.id belum lama ini.
“Lantas saya bertanya, pemborosannya dari sudut mana? Kan begini, saya tidak merasa menggunakan anggaran open bidding itu,” kata Dian membuka pembelaannya.
Dian lantas menggunakan analogi untuk menjelaskan pentingnya peran seorang Sekda yang sejalan dengan visinya memimpin Kuningan, yakni ‘Kuningan Melesat’. Ia menggambarkan hubungan Bupati dan Sekda layaknya pemilik restoran dan seorang koki.
“Sebuah restoran memiliki pemilik dan seorang koki. Restoran tersebut sudah memiliki banyak pelanggan tetap. Namun, si koki membuat menu baru tanpa sepengetahuan pemilik. Tentu saja, pembuatan menu baru memerlukan biaya, mulai dari membeli bahan, mengolah, hingga menyajikannya,” jelasnya.
Tetapi ketika menu itu dijual, lanjut Dian, ternyata tidak diminati konsumen. Akibatnya, biaya yang sudah dikeluarkan menjadi sia-sia.
“Dalam hal ini, jelas kesalahan ada pada koki, karena ia membuat menu baru tanpa persetujuan pemilik restoran. Lantas berbicara dalam pemborosan, siapa yang borosnya?” tandas Dian, menyamakan ‘koki’ dalam analoginya sebagai figur sekda yang tidak mengikuti arahan pemimpin daerah.
Bupati menekankan bahwa Open Bidding justru merupakan mekanisme untuk mencegah pemborosan yang lebih besar akibat tata kelola yang salah di masa depan. Menurutnya, proses seleksi terbuka ini adalah wujud transparansi dan akuntabilitas untuk mendapatkan sosok Sekda yang profesional, berintegritas, dan mampu menjadi motor penggerak birokrasi.
“Bagi saya bukan persoalan hari ini pemborosan yang terjadi yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, tapi saya tidak mau lagi terjadi tata kelola yang salah untuk tahun-tahun berikutnya,” pungkasnya.
Analogi Bupati Dian ini diharapkan dapat meredam kritik, namun justru memantik pertanyaan baru, sejauh mana analogi sederhana itu dapat merepresentasikan kompleksitas penggunaan anggaran negara serta seberapa efektif langkah ini dalam mendapatkan figur Sekda yang ideal. (icu)
