Poin paling tajam muncul ketika Banggar menyoroti lambannya penyelesaian revisi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Menurut Jajang, Kuningan tidak bisa terus-menerus menunda dokumen fundamental yang menjadi dasar seluruh arah pembangunan dan investasi.
DPRD meminta perubahan RTRW dapat dituntaskan dan disahkan pada awal 2026. “RTRW adalah fondasi. Tanpa kepastian tata ruang, kebijakan apa pun akan pincang dan tidak terarah,” ujarnya.
Selain tata ruang, Banggar juga menyoroti problem pelik di sektor perizinan. Layanan perizinan dinilai masih semrawut, lambat, dan tidak responsive, kondisi yang secara langsung menghambat iklim investasi serta menggerus kepercayaan publik. “Reformasi perizinan wajib dilakukan. Pelayanan harus tertib, transparan, cepat, dan ramah kepada investor maupun masyarakat,” tegasnya.
Jajang juga turut mengkritisi pengelolaan kawasan pertokoan di Jalan Siliwangi serta area Puspa Siliwangi yang dinilai stagnan. Kawasan ini sebenarnya menyimpan potensi PAD besar, namun belum digarap serius. Pemerintah daerah diminta membuat kontrak pemanfaatan ruang yang lebih produktif, menata zonasi, serta menghidupkan kembali aktivitas ekonomi kawasan.
“Terobosan harus dilakukan. Jangan biarkan kawasan strategis itu mati suri,” kata Jajang.
Pada bagian akhir, Jajang menyoroti kebijakan penempatan PPPK paruh waktu. Jarak domisili harus menjadi pertimbangan agar pegawai tidak terbebani ongkos transportasi berlebih dan tetap mampu menjalankan tugas secara optimal, menunjukkan perhatian terhadap efektivitas sumber daya manusia.
Melalui catatan kritis ini, Jajang menegaskan bahwa pemerintah daerah harus menjadikan APBD 2026 sebagai momentum pembenahan menyeluruh. “APBD bukan hanya dokumen anggaran, tetapi instrumen perubahan. Kita menagih komitmen pemerintah daerah untuk benar-benar melakukan perbaikan,” pungkas Jajang.
Daftar persoalan ini menjadi cermin seberapa serius Pemkab Kuningan memperbaiki tata kelola sekaligus menjawab tantangan daerah yang semakin kompleks. (ali)
