KUNINGAN — Di tengah hiruk pikuk tahapan Pemilu dan Pilkada serentak yang menyisakan pekerjaan rumah besar, satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengundang perdebatan panjang: membuka ruang bagi perpanjangan masa jabatan anggota DPR dan DPD tanpa pemilu dalam kondisi tertentu.
Putusan ini datang bagai badai senyap yang mengguncang dasar sistem demokrasi elektoral Indonesia. Bagi sebagian orang, ini hanyalah solusi pragmatis atas persoalan teknis pemilu serentak. Namun bagi Oon Mujahidin, Koordinator Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Kuningan, ini adalah lonceng peringatan yang tak bisa diabaikan.
“Kalau jabatan diperpanjang tanpa pemilu, kita sedang menukar kedaulatan rakyat dengan kenyamanan elit. Ini bukan perkara prosedur semata. Ini menyangkut akar demokrasi kita,” tegas Om Pecoy sapaanya, Senin, (7/7).
Menurutnya, yang telah lebih dari satu dekade terlibat dalam advokasi reformasi pemilu dan pendidikan politik masyarakat, pemilu bukan sekadar agenda lima tahunan, melainkan ruang rakyat untuk menyatakan kuasa.
“Begitu Pemilu ditiadakan atau ditunda demi memperpanjang jabatan, maka kekuasaan tak lagi berasal dari rakyat, tapi dari celah hukum yang ditafsirkan sepihak,” ujarnya.
DEEP Kuningan bersama jejaring DEEP Indonesia pun menilai, putusan MK ini berisiko membuka preseden penyalahgunaan kekuasaan. Logika perpanjangan tanpa pemilu dinilai berbahaya, terutama bila dibiarkan menjalar ke jabatan-jabatan publik lain—termasuk di level lokal.
“Kami sudah melihat, bagaimana di tingkat daerah pun tarik-menarik jabatan sangat kuat. Jika logika perpanjangan ini diterima begitu saja, yang tersisa hanyalah legitimasi administratif, bukan moral,” jelasnya.
Lebih jauh, DEEP menyoroti efek domino dari pemisahan Pemilu nasional dan lokal sebagaimana diamanatkan oleh MK. Dalam pandangan DEEP, pemisahan bukan solusi jika tidak dibarengi reformasi menyeluruh terhadap sistem kepemiluan.
“Bayangkan, jeda antara Pemilu nasional 2029 dan Pilkada 2031 itu dua tahun. Siapa yang akan mengisi jabatan kepala daerah yang habis masa tugasnya? Apakah ditunjuk Pj? Apakah diperpanjang? Di situlah potensi krisis mandat rakyat muncul,” terangnya.
Bagi DEEP, pemisahan Pemilu hanya akan bermakna jika dijadikan momentum memperbaiki wajah politik lokal—dengan menata ulang sistem pencalonan, pendanaan politik, hingga penguatan pendidikan pemilih.
“Kalau tidak ada reformasi partai dan pembatasan dominasi elite lokal, pemilu yang lebih banyak hanya memperluas ruang transaksi politik. Demokrasi jadi mahal, tapi miskin makna,” tutupnya. (Icu)
