“Kami sudah melihat, bagaimana di tingkat daerah pun tarik-menarik jabatan sangat kuat. Jika logika perpanjangan ini diterima begitu saja, yang tersisa hanyalah legitimasi administratif, bukan moral,” jelasnya.
Lebih jauh, DEEP menyoroti efek domino dari pemisahan Pemilu nasional dan lokal sebagaimana diamanatkan oleh MK. Dalam pandangan DEEP, pemisahan bukan solusi jika tidak dibarengi reformasi menyeluruh terhadap sistem kepemiluan.
“Bayangkan, jeda antara Pemilu nasional 2029 dan Pilkada 2031 itu dua tahun. Siapa yang akan mengisi jabatan kepala daerah yang habis masa tugasnya? Apakah ditunjuk Pj? Apakah diperpanjang? Di situlah potensi krisis mandat rakyat muncul,” terangnya.
Bagi DEEP, pemisahan Pemilu hanya akan bermakna jika dijadikan momentum memperbaiki wajah politik lokal—dengan menata ulang sistem pencalonan, pendanaan politik, hingga penguatan pendidikan pemilih.
“Kalau tidak ada reformasi partai dan pembatasan dominasi elite lokal, pemilu yang lebih banyak hanya memperluas ruang transaksi politik. Demokrasi jadi mahal, tapi miskin makna,” tutupnya. (Icu)