PENCABUTAN moratorium perizinan perumahan di Kabupaten Kuningan merupakan bukti paling terang bahwa ruang hidup warga dapat ditukar kapan saja demi kepentingan ekspansi yang tidak memiliki dasar ilmiah.
Berbekal RTRW kadaluarsa dan RDTR yang belum lahir, keputusan itu bukan sekadar gegabah, melainkan tindakan maladaptive governance yang sengaja mengabaikan risiko ekologis demi kepentingan jangka pendek.
Pemerintah Daerah Kuningan menjual retorika lama pembangunan fisik sebagai simbol kemajuan. Namun tanpa peta ruang mutakhir, hal itu bukan pembangunan, melainkan penyerahan nasib ekologis pada improvisasi birokrasi.
Di kawasan resapan air seperti Cigugur, kebijakan yang diambil akan berubah menjadi kelalaian struktural yang berpotensi memicu krisis air, kerusakan tanah, dan eskalasi bencana ekologis.
Label “pembangunan terkontrol” hanyalah topeng dari regulatory hubris keyakinan bahwa kekuasaan lebih tahu daripada data, kajian ilmiah, dan partisipasi warga. Ketika pemerintah meminta publik “percaya”, itu mengindikasikan satu hal: tidak ada kajian akademik yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, kebijakan publik yang anti-transparansi bukanlah kebijakan; itu adalah monolog kuasa.
