Cikalpedia.id – Sepertinya ada yang keliru dalam cara berpikir sebagian wakil rakyat kita di Kuningan. Saat publik ribut soal angka tunjangan fantastis yang mereka terima, responnya bukannya segera berbenah, melainkan menunggu ajakan dari pemerintah daerah untuk “duduk bareng evaluasi”.
Ada satu hal yang menarik sekaligus menggelikan di Kabupaten Kuningan. Para anggota DPRD kita tampaknya baru ingat kata “evaluasi tunjangan” setelah publik ribut dan media sosial ramai membicarakan angka-angka fantastis yang mereka kantongi setiap bulan.
Pertanyaannya sederhana, kalau masyarakat tidak ribut, apakah mereka akan tetap tenang duduk di kursi empuk sambil menikmati tunjangan perumahan Rp22–25 juta, tunjangan transportasi Rp14,7–20,5 juta, belanja penunjang operasional Rp4,2–8,4 juta, dan tunjangan komunikasi intensif Rp10,5 juta? Oh, jangan lupa masih ada tunjangan reses Rp10,5 juta setiap kali kegiatan reses digelar.
Mari kita hitung ringan-ringan, seorang anggota dewan Kuningan bisa mengantongi lebih dari Rp47 juta per bulan, wakil ketua Rp57,5 juta, dan ketua DPRD Rp65 juta. Fantastis? Ya, fantastis sekali, apalagi jika dibandingkan dengan warga Kuningan yang masih bergelut dengan harga kebutuhan pokok yang naik turun, UMK yang jauh di bawah angka tunjangan perumahan dewan, serta jalan-jalan berlubang yang belum tentu segera diperbaiki.
Tapi apa jawaban wakil rakyat ketika publik mengkritisi hal ini? Bukan refleksi diri, bukan inisiatif untuk langsung memangkas tunjangan, melainkan menunggu ajakan “duduk bersama evaluasi”. Seolah-olah evaluasi tunjangan bukan kewajiban moral, tapi agenda rapat resmi yang harus ada undangannya.
Padahal, kalau empati benar-benar masih hidup di hati para anggota dewan, mereka mestinya tidak perlu menunggu. Begitu tahu masyarakat tersakiti oleh angka tunjangan, mereka bisa langsung menggelar rapat internal.
“Saudara-saudara, mari kita kurangi tunjangan ini, kita kembalikan sebagian ke APBD, agar bisa dipakai untuk rakyat.”
Tunjangan perumahan belasan hingga puluhan juta, tunjangan transportasi yang bisa bikin masyarakat geleng kepala, dan berlapis-lapis fasilitas lain, semuanya masih dianggap “wajar” karena ada payung hukum. Ah, hukum memang bisa jadi selimut tebal yang nyaman, tapi apakah nurani juga ikut tertutup?
Yang lebih menyedihkan, kesadaran untuk mengevaluasi hanya muncul ketika masyarakat ramai-ramai protes. Jadi, tanpa sorotan publik, kemungkinan besar tak akan ada niat evaluasi sama sekali. Padahal, wakil rakyat seharusnya peka sebelum rakyat menjerit.
Wakil rakyat yang sesungguhnya tidak menunggu diingatkan. Mereka otomatis tahu kapan harus mengurangi demi kepentingan bersama. Tapi jika empati baru muncul setelah ribut di luar sana, lalu di meja rapat hanya sebatas “mari kita pertimbangkan”, apa bedanya dengan sekadar formalitas menjaga citra?
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: diam seribu bahasa hingga sorotan membesar. Empati mereka tampaknya tidak datang dari hati, tetapi dari rasa takut kehilangan citra di mata publik.
Ironisnya lagi, semua fasilitas ini selalu dibungkus dengan dalih “ada dasar hukumnya”. Benar, memang ada PP Nomor 18 Tahun 2017, memang ada SK Bupati Nomor 900/KPTS.413-/2025, memang semua itu legal. Tapi apakah legal selalu identik dengan moral? Apakah rakyat memilih dewan hanya untuk mendengar kalimat “Kami berhak, karena ada aturannya”?
Mari kita satirkan lebih jauh: kalau besok ada aturan yang membolehkan DPRD mendapat tunjangan “uang ngopi Rp5 juta per bulan”, apakah mereka juga akan langsung mengambil tanpa pikir panjang? Kalau rakyat protes, tinggal bilang, “ini kan ada dasar hukumnya”. Mudah sekali, bukan?
Rakyat Kuningan tentu tidak butuh pertunjukan pencitraan. Mereka butuh wakil yang punya rasa malu ketika menerima fasilitas berlebih di tengah rakyat yang sedang menghitung rupiah demi kebutuhan pokok.
Jadi, wahai anggota DPRD Kuningan, jangan tunggu diajak evaluasi. Jangan tunggu dipaksa sorotan. Kalau benar punya empati, bergeraklah dengan inisiatif. Karena wakil rakyat yang sejati tahu diri, bukan hanya tahu aturan.
Rakyat Kuningan tidak butuh alasan legal-formal.
akyat butuh wakilnya punya rasa malu. Malu ketika menerima tunjangan perumahan puluhan juta, sementara masih banyak rakyat yang belum punya rumah layak huni.
Malu ketika mendapat tunjangan transportasi belasan juta, sementara masyarakat masih harus menambal ban motor karena jalanan rusak.
Malu ketika mendapat uang komunikasi intensif Rp10,5 juta per bulan, sementara komunikasi rakyat dengan dewan seringkali macet alias sulit bertemu.
Empati sejati tidak menunggu diundang rapat. Empati sejati justru bergerak lebih dulu, mengambil inisiatif, dan berani berkata: “Kami kurangi tunjangan ini demi rakyat.” Jika harus menunggu sampai masyarakat berteriak baru bereaksi, itu bukan empati, tapi strategi pencitraan darurat.
Maka, wahai anggota DPRD Kuningan, berhentilah menunggu “surat undangan evaluasi”. Rakyat sudah cukup bosan dengan alasan normatif dan basa-basi hukum. Tunjukkan bahwa kursi yang kalian duduki tidak hanya empuk untuk diri sendiri, tapi juga nyaman untuk rakyat yang menitipkan kepercayaan.
Karena wakil rakyat sejati tidak menunggu diajak. Mereka tahu diri, tahu malu, dan tahu kapan harus mengalah demi kepentingan bersama.
Oleh : Bengpri (Jurnalis Cikalpedia.id)

1 comment
It’s the best time to make some plans for the future and it is time to be happy. I’ve read this post and if I could I desire to suggest you some interesting things or advice. Maybe you can write next articles referring to this article. I desire to read more things about it!