Mari kita satirkan lebih jauh: kalau besok ada aturan yang membolehkan DPRD mendapat tunjangan “uang ngopi Rp5 juta per bulan”, apakah mereka juga akan langsung mengambil tanpa pikir panjang? Kalau rakyat protes, tinggal bilang, “ini kan ada dasar hukumnya”. Mudah sekali, bukan?
Rakyat Kuningan tentu tidak butuh pertunjukan pencitraan. Mereka butuh wakil yang punya rasa malu ketika menerima fasilitas berlebih di tengah rakyat yang sedang menghitung rupiah demi kebutuhan pokok.
Jadi, wahai anggota DPRD Kuningan, jangan tunggu diajak evaluasi. Jangan tunggu dipaksa sorotan. Kalau benar punya empati, bergeraklah dengan inisiatif. Karena wakil rakyat yang sejati tahu diri, bukan hanya tahu aturan.
Rakyat Kuningan tidak butuh alasan legal-formal.
akyat butuh wakilnya punya rasa malu. Malu ketika menerima tunjangan perumahan puluhan juta, sementara masih banyak rakyat yang belum punya rumah layak huni.
Malu ketika mendapat tunjangan transportasi belasan juta, sementara masyarakat masih harus menambal ban motor karena jalanan rusak.
Malu ketika mendapat uang komunikasi intensif Rp10,5 juta per bulan, sementara komunikasi rakyat dengan dewan seringkali macet alias sulit bertemu.
Empati sejati tidak menunggu diundang rapat. Empati sejati justru bergerak lebih dulu, mengambil inisiatif, dan berani berkata: “Kami kurangi tunjangan ini demi rakyat.” Jika harus menunggu sampai masyarakat berteriak baru bereaksi, itu bukan empati, tapi strategi pencitraan darurat.
Maka, wahai anggota DPRD Kuningan, berhentilah menunggu “surat undangan evaluasi”. Rakyat sudah cukup bosan dengan alasan normatif dan basa-basi hukum. Tunjukkan bahwa kursi yang kalian duduki tidak hanya empuk untuk diri sendiri, tapi juga nyaman untuk rakyat yang menitipkan kepercayaan.
Karena wakil rakyat sejati tidak menunggu diajak. Mereka tahu diri, tahu malu, dan tahu kapan harus mengalah demi kepentingan bersama.
Oleh : Bengpri (Jurnalis Cikalpedia.id)