KUNINGAN – Sebuah aksi pembubaran sekelompok remaja di kawasan Pasar Kepuh, yang diduga merupakan komunitas LGBT, menyulut kembali perdebatan soal krisis moral di Kabupaten Kuningan. Aksi itu dilakukan secara spontan oleh seorang warga berinisial F, yang dikenal sebagai atlet tinju lokal. Peristiwa itu terekam kamera warga dan viral di media sosial, memancing reaksi beragam dari masyarakat dan organisasi sipil.
“Saya sering mengalami pelecehan, semacam siulan atau tatapan yang tak menyenangkan. Lama-lama saya muak,” ujar F saat ditemui di rumahnya, beberapa hari setelah peristiwa berlangsung.
F bukan satu-satunya yang resah. Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan (FMPK) Kuningan menilai tindakan F merupakan bentuk kegelisahan publik yang sudah lama terpendam. Mereka menyebut aksi itu sebagai “alarm moral” yang menggema karena tidak kunjung adanya respons serius dari pemerintah daerah.
“Kami dua kali audiensi ke DPRD, hasilnya nihil. Kami khawatir kalau tidak ada tindakan nyata, akan terjadi aksi-aksi liar lain di lapangan,”kata Luqman Maulana, Sekretaris FMPK, Rabu (30/7/2025).
FMPK menegaskan bahwa keresahan warga bukan sekadar soal komunitas LGBT, melainkan krisis moral yang lebih kompleks. Luqman menyebut beberapa kasus yang mencoreng institusi publik: dugaan pelanggaran etika oleh anggota DPRD yang kini tengah diproses Badan Kehormatan, kasus pelecehan seksual oleh kepala desa terhadap anak di bawah umur, dan guru yang diduga melakukan tindakan serupa di sebuah SMA negeri.
“Fenomena sosial ini tak berdiri sendiri. Ini gejala sistemik, indikasi lemahnya pengawasan dan minimnya keteladanan dari elite publik,” tambah Luqman.
Menurutnya, fenomena yang tampak di permukaan hanyalah gejala dari kerusakan yang lebih dalam: lemahnya nilai etika dalam birokrasi, pendidikan, bahkan lembaga legislatif.
Sikap diam pemerintah menjadi sorotan utama. FMPK menilai minimnya respons dari pemda, tokoh agama, dan institusi pendidikan memperparah ketegangan di masyarakat. Mereka khawatir sikap pasif ini justru menyuburkan praktik-praktik main hakim sendiri.
“Kalau terus begini, bukan mustahil muncul aksi sweeping. Ini kegagalan pemerintah dalam menciptakan ruang publik yang aman dan beradab,” tegas Luqman.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, di mana peran pemerintah dalam menavigasi benturan antara hak individu dan nilai sosial masyarakat?
Para pegiat hak asasi mengingatkan bahwa pembubaran kelompok, apa pun identitasnya harus mengacu pada hukum, bukan sentimen pribadi. Mereka menyayangkan tindakan F meski memahami keresahan yang melatarbelakanginya.
Namun bagi FMPK dan sebagian warga, kesunyian negara lebih menakutkan ketimbang risiko konflik sosial. Mereka menuntut tindakan nyata yaitu regulasi yang jelas, program penyuluhan moral, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran, baik di masyarakat maupun di lembaga publik.
Kasus di Pasar Kepuh adalah gejala. Tapi yang lebih berbahaya adalah ketika masyarakat merasa harus bertindak karena negara absen. Fenomena ini menggambarkan betapa rapuhnya fondasi etika publik di Kuningan saat ini.
Menertibkan satu komunitas tanpa memperbaiki institusi hanya akan melahirkan siklus kegaduhan. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan moral, ketegasan hukum, dan kesadaran kolektif bahwa menjaga martabat publik bukan hanya soal satu kelompok, melainkan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. (ali)
