Sikap diam pemerintah menjadi sorotan utama. FMPK menilai minimnya respons dari pemda, tokoh agama, dan institusi pendidikan memperparah ketegangan di masyarakat. Mereka khawatir sikap pasif ini justru menyuburkan praktik-praktik main hakim sendiri.
“Kalau terus begini, bukan mustahil muncul aksi sweeping. Ini kegagalan pemerintah dalam menciptakan ruang publik yang aman dan beradab,” tegas Luqman.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, di mana peran pemerintah dalam menavigasi benturan antara hak individu dan nilai sosial masyarakat?
Para pegiat hak asasi mengingatkan bahwa pembubaran kelompok, apa pun identitasnya harus mengacu pada hukum, bukan sentimen pribadi. Mereka menyayangkan tindakan F meski memahami keresahan yang melatarbelakanginya.
Namun bagi FMPK dan sebagian warga, kesunyian negara lebih menakutkan ketimbang risiko konflik sosial. Mereka menuntut tindakan nyata yaitu regulasi yang jelas, program penyuluhan moral, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran, baik di masyarakat maupun di lembaga publik.
Kasus di Pasar Kepuh adalah gejala. Tapi yang lebih berbahaya adalah ketika masyarakat merasa harus bertindak karena negara absen. Fenomena ini menggambarkan betapa rapuhnya fondasi etika publik di Kuningan saat ini.
Menertibkan satu komunitas tanpa memperbaiki institusi hanya akan melahirkan siklus kegaduhan. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan moral, ketegasan hukum, dan kesadaran kolektif bahwa menjaga martabat publik bukan hanya soal satu kelompok, melainkan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. (ali)