Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
Sampai kapan kita akan terus bertanya, “Kenapa korban bencana selalu besar,” padahal peringatan dini sudah berhari hari terdengar? Pertanyaan ini mengganggu nurani publik di awal Desember 2025, ketika bencana hidrometeorologi memukul banyak daerah sekaligus, dari Jawa sampai Sulawesi, lalu mencapai puncaknya di Sumatra dengan skala korban yang mematahkan rasa aman kita.
Masalahnya bukan semata hujan, bukan pula sekadar alam yang “sedang marah”. Masalah utamanya adalah cara negara memimpin risiko. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, publik menunggu satu hal sederhana tetapi menentukan: negara yang tidak gagap saat tanda bahaya sudah jelas, negara yang bergerak sebelum duka memanjang.
Dalam sepekan terakhir, laporan kejadian bencana datang bertubi tubi. Banjir melanda wilayah Kebumen, Jawa Tengah, berdampak pada ribuan warga. Banjir juga terjadi di Pasuruan, Jawa Timur, dan Ciamis, Jawa Barat. Angin kencang merusak rumah di Sinjai, Sulawesi Selatan.
Operasi pencarian korban longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, kembali mengingatkan kita bahwa satu lereng yang runtuh dapat menghapus puluhan harapan dalam hitungan menit. Ini belum termasuk deretan kejadian yang tak sempat masuk linimasa atau media nasional, tetapi tetap menumpuk beban pada dapur rumah tangga dan ekonomi lokal.
Lalu datang pukulan paling keras: banjir dan longsor besar di Sumatra, terutama di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Pada akhir November, pembaruan resmi menyebut korban meninggal di tiga provinsi itu mencapai 442 jiwa dengan ratusan orang dinyatakan hilang.
Pada 1 Desember 2025, pembaruan data resmi yang dikutip media internasional menyebut korban meninggal telah mencapai 502 jiwa. Angka ini bukan statistik, ini alarm.
Radar Sudah Bunyi, Kapal Masih Rapat
Bayangkan negara sebagai kapal besar. Saat radar sudah berbunyi, seharusnya kapal mengendus badai dan segera mengubah haluan. Awak memakai pelampung, muatan diamankan, dan celah yang bisa membuat air masuk ditutup. Yang sering terjadi justru sebaliknya: rapat koordinasi mendahului tindakan, konferensi pers mendahului logistik, dan penjelasan mendahului evakuasi.
Pada 26 November 2025, otoritas meteorologi sudah menyampaikan bahwa sistem cuaca di Selat Malaka berkembang menjadi siklon yang dapat memicu hujan sangat lebat hingga ekstrem dan angin kencang, dengan wilayah risiko mencakup Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Bahkan, catatan hujan ekstrem pada 25–27 November menunjukkan beberapa lokasi mencatat curah hujan harian yang sangat tinggi, termasuk di Aceh dan Sumatra Utara. Ini bukan kejutan. Ini tanda bahaya yang sangat jelas.
Namun ketika bencana membesar, kita kembali menyaksikan pola yang berulang: akses jalan terputus, komunikasi terganggu, distribusi bantuan tersendat, dan laporan kehilangan keluarga bertambah hari demi hari.
Sebagian peningkatan angka korban dan orang hilang terjadi karena akses yang baru terbuka dan laporan yang baru masuk, artinya pada fase awal sistem pelaporan dan penjangkauan belum sepenuhnya siap.
Ini Bukan Soal Kehadiran di Lokasi, Ini Soal Kepemimpinan Risiko
Saya tidak menafikan kerja keras petugas lapangan. Dalam bencana besar, berbagai upaya dilakukan: pengerahan helikopter, aktivasi komunikasi darurat, distribusi genset, tenda, perahu, hingga intervensi cuaca untuk membantu proses penanganan.
Banyak pemerintah daerah juga menetapkan status siaga atau tanggap darurat. Persoalannya ada pada level hulu: apakah sinyal risiko sudah otomatis memicu tindakan yang terstandar sebelum korban berjatuhan?
Kepemimpinan bencana bukan hanya “turun meninjau” atau “mengirim bantuan”. Kepemimpinan bencana adalah memastikan tiga hal bekerja tanpa menunggu instruksi harian: satu data yang dipercaya, satu komando yang tegas, dan satu paket tindakan cepat yang bisa dijalankan BPBD sampai level desa.
