Pagi itu sunyi. Tidak ada suara canda anak-anak, tidak ada aroma sarapan dari dapur. Hanya desisan pelan dari termos air panas dan detak jam dinding yang terdengar keras di kepala Rani.
Ia duduk di ruang tamu, memandangi secarik surat gugatan cerai yang baru ditandatanganinya kemarin. Tangannya gemetar, tapi matanya tak menangis lagi. Air matanya sudah habis, mungkin sejak dua tahun lalu, saat ia pertama kali memergoki Dimas—suaminya—berjudi online diam-diam di malam hari.
Awalnya ia pikir itu hanya iseng. Sekadar cari hiburan.
Tapi minggu demi minggu, gaji Dimas tak lagi cukup. Uang belanja dipotong. Iuran sekolah anak ditunda. Rani mulai harus berbohong ke sana-sini, meminjam uang dari tetangga, menjual perhiasan, bahkan beberapa barang di rumah hilang satu per satu.
“Sebentar lagi menang besar, Ran. Semua lunas,” begitu janji Dimas, yang semakin sering diucapkan… dan semakin sulit dipercaya.
Dimas jadi sering marah. Ponsel tak pernah lepas dari tangannya. Wajahnya kusam, matanya merah, dan nada bicaranya kasar. Anak mereka, Nala, sering bersembunyi di balik pintu kalau ayahnya pulang.
Puncaknya malam itu, saat Dimas menggadaikan motor tanpa izin.
“Demi taruhan terakhir. Ini pasti balik, percaya aku!” katanya dengan suara tinggi.
“Ini bukan rumah tangga lagi, Mas. Ini neraka,” Rani membalas lirih, menggenggam tangan Nala yang ketakutan.
Kini, setelah sekian lama menimbang dan berdoa, Rani memilih pergi. Bukan karena benci. Tapi karena ia ingin Nala tumbuh tanpa ketakutan. Karena ia ingin hidup, bukan hanya bertahan.
Ketukan di pintu memecah lamunannya. Ibunya datang, membawa lauk dan senyuman hangat.
“Bagaimana, Nak?”
“Aku lega, Bu. Sakit, tapi lega,” jawab Rani. “Aku nggak mau Nala tumbuh percaya kalau disakiti itu biasa.”
Ibunya memeluknya erat. “Kamu kuat. Dan kamu benar.”
Di sudut ruang tamu, Nala menggambar sesuatu di kertas. Ada matahari, rumah kecil, dan dua sosok—ibu dan anak—berpegangan tangan.
Rani tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa bebas.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri
