Kini, setelah sekian lama menimbang dan berdoa, Rani memilih pergi. Bukan karena benci. Tapi karena ia ingin Nala tumbuh tanpa ketakutan. Karena ia ingin hidup, bukan hanya bertahan.
Ketukan di pintu memecah lamunannya. Ibunya datang, membawa lauk dan senyuman hangat.
“Bagaimana, Nak?”
“Aku lega, Bu. Sakit, tapi lega,” jawab Rani. “Aku nggak mau Nala tumbuh percaya kalau disakiti itu biasa.”
Ibunya memeluknya erat. “Kamu kuat. Dan kamu benar.”
Di sudut ruang tamu, Nala menggambar sesuatu di kertas. Ada matahari, rumah kecil, dan dua sosok—ibu dan anak—berpegangan tangan.
Rani tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa bebas.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri
