KUNINGAN – Krisis yang mendera Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Linggajati kian menajam. Setelah kasus kematian bayi yang diduga akibat kelalaian medis mencuat dan memancing perhatian pengacara Hotman Paris, kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan di Kuningan terguncang. Direktur RSUD dicopot sementara, dan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan, Eva Maya, ditunjuk sebagai pelaksana harian sambil menunggu hasil investigasi independen.
Di tengah situasi ini, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Kuningan mengusulkan pengelolaan RSUD diserahkan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dalihnya, keterbatasan fiskal daerah membuat peningkatan layanan sulit terwujud. Namun, usulan tersebut memantik kritik dari kelompok masyarakat sipil.
“Penyerahan ke Pemprov berisiko melemahkan posisi strategis daerah dalam pembangunan kesehatan. Bukan solusi jangka panjang untuk daerah yang ingin mandiri dan berdaulat,” kata Ikhsan Marzuki, inisiator Gerakan KITA, Minggu (9/8/2025).
Ikhsan menilai, Pemda Kuningan akan kehilangan kendali strategis jika RSUD diambil alih provinsi, mulai dari arah kebijakan, pengembangan SDM, hingga intervensi tarif layanan. Ia mencontohkan kasus Waduk Darma yang setelah dikelola provinsi bersama investor memang lebih produktif, tapi hasil ekonominya lebih banyak mengalir ke provinsi dan swasta ketimbang daerah.
Permasalahan RSUD Linggajati sendiri tak sederhana. Status tanah masih milik Pemerintah Desa Bandorasa Wetan sehingga menghambat akreditasi. Jumlah dokter spesialis minim, sarana dan prasarana tertinggal dibanding rumah sakit tetangga, dan APBD tertekan sehingga ruang belanja pembangunan nyaris tak ada.
Ikhsan yang juga mantan Anggota DPRD dari Partai keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan sejumlah langkah tanpa melepas kendali daerah. Antara lain, menggandeng swasta lewat skema public-private partnership seperti Build Operate Transfer (BOT), Kerja Sama Operasi (KSO), atau kontrak manajemen. Pemda juga diminta segera menuntaskan status lahan, mengoptimalkan status BLUD RSUD, serta menjajaki kerja sama dengan lembaga donor internasional, perguruan tinggi, dan asosiasi rumah sakit.
“Di sejumlah daerah, RSUD dikelola bersama swasta sambil tetap menjaga posisi strategis daerah,” ujar Ikhsan.
Ia juga mendorong pertemuan lintas pemangku kepentingan mulai dari IDI, PERSI, PKFI, hingga pemilik rumah sakit swasta di Kuningan untuk merumuskan solusi menyeluruh.
Bagi Gerakan KITA, mempertahankan RSUD Linggajati adalah ujian sesungguhnya bagi kemampuan Pemda mengelola institusi publik strategis. “Kalau setiap krisis kita menyerahkan pengelolaannya, kapan belajar dan tumbuh?” kata Ikhsan.
Fraksi PKS dan DPRD pun diharapkan tak berhenti di usulan pengalihan, tapi ikut merumuskan roadmap transformasi RSUD, mendorong inovasi tata kelola, dan membuka jejaring pendanaan alternatif.
Kini pilihan ada di tangan Pemda Kuningan: menyerahkan atau menguatkan. Bukan hanya keputusan manajerial, tetapi pernyataan arah politik anggaran dan tekad membangun kemandirian daerah. Dalam keterbatasan, yang dibutuhkan adalah visi besar dan keberanian mencari solusi kreatif, tanpa melepas jati diri. (ali)
