Cikalpedia
Cerpen

Langit Hari Itu Cerah, Bu

Bagian 1: Gerbang Pelaminan

Pagi itu, matahari naik dengan malu-malu dari balik pepohonan. Udara masih lembut, seolah belum ingin panas. Gedung pernikahan mulai ramai oleh suara-suara. Di antara tawa dan riuh panitia, seorang lelaki berdiri agak jauh dari kerumunan.

Jas abu tuanya sudah rapi, sepatu mengkilap, rambut disisir ke belakang. Tapi matanya… tidak bisa berbohong. Ada keruh yang ia sembunyikan di balik senyumnya.

Dialah Dedi, ayah dari pengantin perempuan.

“Langit cerah hari ini, Bu,” gumamnya pelan. “Kayak kamu dulu suka bilang… kalau hari cerah itu tanda doa-doa dikabulkan.”

Ia tertawa kecil, getir. Di genggamannya ada selembar foto tua, istrinya, almarhumah Anita, memeluk anak mereka yang masih balita.

Waktu itu mereka belum punya apa-apa. Hanya sebuah kontrakan sempit dan segunung harapan.

Kenangan 20 tahun lalu:
Anita: “Kalau dia besar nanti, kamu yang antar dia ke pelaminan ya, Mas?”
Dedi: “Lho, kamu sendiri gimana?”
Anita: “Aku mungkin udah di tempat lain. Tapi kamu janji ya, jangan menangis. Tersenyumlah untuk kita berdua.”

Kini, anak yang dulu digendong Anita telah berdiri di pelaminan. Anggun. Cantik seperti ibunya.

“Pak…” Suara Nayla menyentaknya. “Terima kasih, Pak. Aku tahu… Ibu pasti lihat dari atas sana.”
Dedi: “Kamu bahagia hari ini?”
Nayla: “Iya, Pak… Tapi aku pengin Ibu juga lihat.”
Dedi: “Ibu lihat, Nak. Ibu nggak pernah benar-benar pergi.”

Bagian 2: Doa yang Tertinggal di Langit

Malam setelah pesta. Rumah sunyi. Dedi duduk di tepi ranjang, membuka kotak kayu berisi surat-surat lama dari Anita.

Surat dari Anita:

“Mas Dedi, kalau kamu baca surat ini… mungkin aku sudah nggak ada di sampingmu. Tapi kamu harus tahu, aku nggak pernah takut mati. Aku cuma takut nggak bisa dampingi Nayla saat dia besar. Tapi aku percaya, kamu akan bisa jadi ayah sekaligus ibu buat dia. Doa-doaku ada di langit. Kamu tinggal panggil, dan akan selalu sampai.”

Baca Juga :  Gedung Eks Asda 2 Jadi Rumah Baru Bappenda Kuningan

Tangis Dedi pecah malam itu. Tapi bukan tangis lemah. Itu tangis cinta. Tangis lepas setelah tahu, ia tak pernah benar-benar sendiri.

Ia buka jendela, menatap langit.

Dedi: “Bu… tugasku selesai. Anak kita bahagia.”

Bagian 3: Hari-Hari Tanpamu Tapi Bersamamu

Setahun berlalu. Rumah makin sunyi. Tapi Dedi tidak hidup dalam kesepian. Ia mulai menyiram bunga lagi. Membaca ulang buku-buku lama. Dan setiap sore duduk di kursi rotan di beranda, tempat dulu ia dan Anita sering mengobrol saat Nayla kecil.

Kenangan Anita:
Anita: “Kalau nanti aku nggak ada, kamu jangan tinggal di rumah yang terlalu besar ya.”
Dedi: “Iya, Bu. Rumah ini hangat… karena kamu masih di sini.”

Nayla datang berkunjung.

Nayla: “Pak, aku masih suka rindu rumah ini.”
Dedi: “Rumah ini… akan selalu jadi rumahmu, Nak. Sama seperti dulu Ibumu bilang, rumah itu bukan dindingnya, tapi siapa yang menunggu di dalamnya.”

Bagian 4: Surat Terakhir di Bawah Bantal
Malam hujan. Dedi merapikan ranjang. Tiba-tiba, ia menemukan surat terlipat di bawah bantal, dengan tulisan: “Untuk Mas, jika rindu.”

Isi Surat Anita:

“Mas…
Aku yakin, suatu hari kamu akan bongkar bantal itu. Dan jika itu terjadi, berarti kamu sedang mencari aku. Maka ini jawabanku: Aku masih di sini, Mas.
Setiap kali kamu menyeduh teh, menata bantal, atau menyiram halaman, aku hadir.
Terima kasih sudah menjadi ayah terbaik untuk Nayla.
Jika suatu hari kamu merasa sendiri, tutup mata, Mas… dan dengarkan: ada aku yang memelukmu, dengan seluruh cinta yang tak pernah habis.
– Anita”

Dedi: “Terima kasih, Bu… karena kamu masih memilih tinggal, bahkan setelah pergi.”

Baca Juga :  Petugas KPPS Cijoho Meninggal, Pemilu Kuningan Berduka

Untuk pertama kalinya, ia tidur nyenyak. Surat itu berada di dadanya, seolah Anita kembali memeluknya.

Bagian 5: Pulang Tanpa Duka

Tahun-tahun berlalu. Dedi pindah ke desa kecil di kaki gunung — tempat ia dan Anita dulu pernah liburan. Ia tinggal sendirian, bertanam, menulis, dan setiap sore berbicara pada angin.

Catatan harian Dedi:

“Bu, Nayla kirim foto cucu kita. Rambutnya keriting, mirip kamu.
Hari ini aku mimpi kamu. Kamu bilang: ‘Sudah waktunya, Mas.’”

Suatu pagi, Dedi tidak membuka pintu seperti biasa.

Ia ditemukan wafat di kursinya, dengan wajah damai. Di pangkuannya terbuka buku harian. Halaman terakhir bertuliskan:

“Bu… aku mau pulang. Tapi bukan pulang ke rumah. Pulang ke kamu. Ke tempat semua doa dimulai.”

Ia dimakamkan di samping Anita. Kini mereka kembali bersama — bukan hanya dalam kenangan, tapi juga dalam keabadian.

TAMAT – Tapi Cinta Tidak Pernah Tamat

Hanya Fiksi Smbari Ngopi by Bengpri

Related posts

TMMD Sentuh Kutawaringin, TNI Buka Jalan, Bangun Harapan

Cikal

Masjid Kuno Bondan: Jejak Legenda, Cinta, dan Dakwah di Tepi Cimanuk

Cikal

Auww…. Dian Perintahkan TPP Februari Mulai Dibayarkan Minggu Ini, tapi….

Cikal

Leave a Comment