Setiap malam, Damar menatap layar ponsel dalam sunyi. Hanya suara ketukan tombol dan detak jantungnya yang berpacu. Angka-angka berputar, berharap hari ini keberuntungan berpihak. Sekali saja menang besar, ia ingin membuktikan—ia masih laki-laki yang bisa dibanggakan.
Tapi malam itu, ia kembali kalah.
Saldonya nol. Lagi.
Ia mengusap wajah, keringat dingin membasahi pelipis. Di kamar sebelah, istrinya, Lita, sedang rapat daring. Suaranya lantang, tegas, percaya diri. Gajinya dua kali lipat dari Damar. Bahkan lebih.
Sejak pandemi, bisnis Lita naik. Sementara Damar kehilangan pekerjaan tetap, hanya bertahan dari proyek serabutan yang tak menentu. Mulanya, Lita masih mendukung. Tapi lama-kelamaan, ucapannya berubah.
“Mas ngerti nggak sih rasanya capek kerja sendirian sementara kamu main HP terus?”
“Coba Mas punya sedikit ambisi.”
“Kalau bukan aku yang kerja, kita udah makan pasir dari kemarin!”
Damar diam. Tapi tiap kata itu menggali lubang kecil di dalam dadanya.
Ia tak bisa balas berteriak. Ia tahu Lita tak sepenuhnya salah. Tapi luka harga diri itu pelan-pelan membuatnya ingin menang cepat, meski lewat cara tolol: judi online.
Awalnya seratus ribu. Lalu lima ratus. Lalu honor desain terakhirnya lenyap dalam satu malam.
Hari itu, Lita menemukan bukti: tangkapan layar histori deposit di HP suaminya. Mereka bertengkar hebat. Tapi yang paling menyakitkan bukan teriakannya—melainkan tatapan Lita yang penuh jijik.
“Jadi ini alasan kamu diem terus di rumah? Kamu bukan cuma pengangguran, kamu pecundang, Mar.”
Kalimat itu menghantam lebih keras dari pukulan.
Malam itu Damar pergi. Bukan kabur. Tapi mundur. Ia tidur di kosan temannya, mencoba berpikir jernih. Ia sadar—ia telah kehilangan respek, dari istrinya, bahkan dari dirinya sendiri.
Tapi di balik itu semua, ia juga sadar sesuatu:
Ia bukan ingin kaya cepat. Ia hanya ingin dianggap cukup.
Dua minggu berlalu. Lita mendapat surat dari Damar. Isinya singkat:
“Aku salah. Tapi kamu pun tak sepenuhnya benar. Aku minta maaf karena membuatmu sendiri. Tapi aku juga manusia yang ingin dihargai, bukan dibandingkan.
Aku tak akan minta kita kembali. Aku cuma mau bilang: aku akan sembuh, dan suatu hari, aku akan utuh lagi—meski bukan untukmu.”
Lita membaca surat itu berulang kali. Matanya panas. Bukan karena marah. Tapi karena diam-diam… ia pun merasa bersalah. Karena dalam rumah tangga, kekalahan bukan selalu milik yang kalah uang—tapi milik mereka yang berhenti saling menghormati.
Hanya Fiksi Sambil Ngopi By Bengpri
