Indramayu – Di hamparan sawah yang mulai menguning, angin mengayun pelan bulir-bulir padi yang sebentar lagi akan dipanen. Di balik suasana yang menenangkan itu, tersimpan satu tradisi luhur yang telah diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Jawa dan Sunda: Mapag Sri. Sebuah upacara adat yang bukan hanya tentang panen, tetapi tentang harapan, kebersamaan, dan rasa syukur kepada Sang Pemberi Hidup.
Filosofi Menjemput “Sri”
Mapag Sri berasal dari bahasa Jawa halus: mapag berarti menjemput, dan Sri adalah personifikasi dari padi — simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan berkah kehidupan. Dalam kepercayaan masyarakat agraris, padi bukan sekadar tanaman pangan, melainkan makhluk hidup yang sakral, yang harus dihormati.
Maka saat masa panen tiba, masyarakat tidak serta-merta memanen begitu saja. Mereka lebih dulu ‘menjemput’ padi dengan penuh penghormatan, melalui serangkaian upacara yang sarat makna spiritual dan budaya. Inilah Mapag Sri.
Namun menariknya, Mapag Sri tidak selalu dilaksanakan setiap tahun. Ada kalanya upacara ini ditiadakan karena hasil panen yang buruk, kondisi ekonomi warga yang sedang sulit, atau situasi keamanan yang tidak mendukung. Karena itu, saat Mapag Sri bisa digelar, momen ini menjadi sangat istimewa.
Tidak Sekadar Panen, Tapi Doa dan Harapan
Upacara Mapag Sri biasanya digelar menjelang panen raya, ketika bulir padi sudah mulai merunduk keemasan. Masyarakat desa akan berkumpul dalam sebuah ritual yang dipimpin oleh sesepuh atau tokoh adat. Ada iring-iringan, doa bersama, sesajen, bahkan kadang diiringi kesenian tradisional seperti wayang, gamelan, atau tari-tarian rakyat.
Musyawarah dan Gotong Royong
Sebelum upacara digelar, kepala desa akan mengadakan rempugan atau musyawarah bersama para tokoh masyarakat. Mereka akan menentukan hari pelaksanaan, sumber dana, dan kebutuhan lainnya. Semua dilakukan secara gotong royong, mencerminkan semangat kolektif masyarakat agraris: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Uniknya lagi, panitia upacara Mapag Sri biasanya dibentuk dari panitia sebelumnya—yaitu panitia upacara Baritan, yang merupakan tradisi tolak bala. Sedangkan jauh sebelum itu, ada pula tradisi Sedekah Bumi. Rangkaian ini menunjukkan betapa siklus hidup petani tak lepas dari harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Warisan Budaya yang Perlu Dijaga
Di tengah arus modernisasi dan industrialisasi pertanian, tradisi seperti Mapag Sri mungkin terdengar “kuno”. Namun sejatinya, nilai-nilai di baliknya sangat relevan: penghormatan pada alam, syukur atas rezeki, dan semangat kebersamaan yang tulus.
Mapag Sri bukan sekadar warisan budaya, tapi juga pengingat — bahwa sebelum hasil dituai, ada doa, harapan, dan kerja keras yang harus dihormati.
Mapag Sri adalah tentang lebih dari sekadar panen. Ia adalah ritual cinta kepada tanah, penghormatan kepada padi, dan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Selama ada sawah yang menguning dan petani yang menanam harapan, selama itu pula Mapag Sri akan tetap hidup.
