Dalam konteks modern, pendidikan Islam menghadapi tantangan besar untuk menegaskan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan di tengah arus patriarki yang masih kuat. Amina Wadud dan Fatima Mernissi merupakan tokoh penting dalam upaya menafsirkan kembali ajaran Islam secara lebih adil, kontekstual, dan komprehensif terutama dalam bidang pendidikan.
Kedua tokoh ini dikenal sebagai tokoh feminis Muslim yang dengan konsisten berusaha untuk mengoreksi bias patriarki dalam tradisi keilmuan Islam serta membuka ruang bagi interpretasi yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang setara di hadapan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Sebab pendidikan harus dapat menjadi ruang pembebas, bukan pembatasan.
Dalam pandangan Amina Wadud, beliau yakin bahwa al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi bersifat universal, adil, dan inklusif terhadap seluruh umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin. Dalam karyanya Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, Amina Wadud melakukan pendekatan hermeneutik yang menekankan pentingnya konteks, bahasa, dan tujuan moral al-Qur’an. Menurutnya, penafsiran yang lahir dari struktur masyarakat patriarki sering kali melahirkan ketidakadilan gender karena lebih menonjolkan sudut pandang laki-laki.
Dalam konteks pendidikan Islam, pemikiran Amina Wadud menegaskan perlunya formulasi kurikulum dan metodologi pembelajaran yang berperspektif kesetaraan. Pendidikan seharusnya tidak hanya menanamkan menghafal teks, tetapi juga mengembangkan kesadaran moral dan kritis agar peserta didik mampu memahami nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam ajaran Islam.
Sedangkan Fatima Mernissi menawarkan analisis sosiologis terhadap realitas masyarakat Muslim. Melalui karyanya seperti The Veil and the Male Elite dan Beyond the Veil, Fatima Mernissi mengkritik bagaimana sejarah Islam sering kali dibaca secara selektif untuk melanggengkan dominasi laki-laki. Beliau berfokus bahwa pembatasan peran perempuan bukan berasal dari ajaran Islam itu sendiri, melainkan dari interpretasi politik dan budaya yang berkembang setelah masa Nabi.
Dalam bidang pendidikan, pemikiran Fatima Mernissi menuntut adanya perubahan paradigma dari pendidikan yang hanya menanamkan ketaatan pasif menuju pendidikan yang membebaskan dan memampukan peserta didik, khususnya perempuan, untuk berperan aktif dalam kehidupan sosial dan intelektual.
