Kedua tokoh ini sama-sama menekankan pentingnya ijtihad baru dalam memahami Islam secara lebih dinamis. Mereka mendorong umat Islam untuk tidak terjebak dalam pemahaman literal, melainkan menghidupkan kembali semangat etis dan spiritual dari wahyu. Dalam konteks pendidikan Islam kontemporer, pemikiran Wadud dan Mernissi sangat relevan sebagai dasar bagi sistem pendidikan yang berorientasi pada humanisasi, keadilan, dan kesetaraan gender.
Guru dan lembaga pendidikan perlu mengembangkan pendekatan yang mengakui pengalaman dan kontribusi perempuan, sekaligus menumbuhkan budaya berpikir kritis dan terbuka terhadap perbedaan.
Pendidikan Islam yang berpihak pada keadilan bukan berarti keluar dari nilai-nilai syariat, tetapi justru menghidupkan semangat etika Islam yang sejati rahmatan lil ‘alamin. Dalam kerangka itu, pemikiran Wadud dan Mernissi bukan ancaman bagi tradisi, melainkan panggilan untuk memperbarui cara kita memahami Tuhan, manusia, dan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, pemikiran Amina Wadud dan Fatima Mernissi bukan hanya gerakan feminis Islam, tetapi juga panggilan moral bagi dunia pendidikan untuk membangun peradaban ilmu yang lebih egaliter dan berkeadilan. Pendidikan Islam harus kembali kepada esensi tauhid yang menegaskan kesetaraan manusia di hadapan Allah, serta menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sarana pembebasan, bukan penindasan. Dari sinilah pendidikan Islam yang berkeadilan dan berperikemanusiaan dapat terwujud.[]
Penulis: Tsamrotul Fuady, Mahasiswa UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
