Polemik seputar proses seleksi terbuka Sekretaris Daerah (Sekda) di Kabupaten Kuningan kembali mengemuka. Beberapa suara publik mempertanyakan transparansi dan efektivitas proses tersebut. Bahkan, muncul tudingan bahwa meritokrasi hanya menjadi bungkus untuk menyembunyikan kepentingan tertentu.
Pertanyaan-pertanyaan kritis seperti “siapa yang diuntungkan?” atau “mengapa anggarannya besar tapi hasilnya belum jelas?” tentu sah untuk diajukan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa mengkritisi sistem harus dibarengi dengan inteleksi yang sehat, bukan asumsi yang dibangun di atas prasangka.
Logika Harus Mendahului Kecurigaan
Menilai sebuah proses publik semestinya tidak berhenti pada besarnya biaya atau lamanya waktu pengambilan keputusan. Biaya besar belum tentu berarti pemborosan, dan proses yang belum selesai bukan berarti sedang dikendalikan oleh kekuatan gelap. Kritik harus disertai bukti dan analisis, bukan hanya kecurigaan.
Yang lebih penting untuk ditanyakan justru adalah: apakah proses itu memiliki indikator objektif? Apakah ruang partisipasi dibuka? Apakah prosedurnya bisa ditelusuri secara transparan?
Meritokrasi adalah Kepentingan yang Sah
Sering kali istilah “kepentingan” dilekatkan pada konotasi negatif, seolah-olah semua kepentingan adalah bentuk manipulasi kekuasaan. Padahal, kepentingan menciptakan tata kelola yang baik dan berbasis kompetensi adalah kepentingan publik yang sah.
Meritokrasi —sistem yang menilai seseorang berdasarkan kapasitas, pengalaman, dan prestasi— bukanlah alat manipulatif. Ia justru benteng awal untuk mencegah nepotisme, jual beli jabatan, dan kooptasi politik. Bila sistem ini dirusak, jawabannya bukan menolaknya, melainkan memperkuat integritas dan pengawasan dalam pelaksanaannya.
Menjaga Kepercayaan Publik dengan Pemikiran Sehat
Di dalam ruang demokrasi, hak untuk mengkritik adalah hal yang fundamental. Namun akan sangat disayangkan jika ruang kritik itu justru dipenuhi dengan spekulasi, narasi insinuatif, dan sinisme yang tidak produktif. Kepercayaan publik bisa hancur bukan karena prosesnya rusak, tetapi karena opini-opini yang terburu-buru membentuk kesimpulan tanpa dasar.
Jika kritik ingin membawa kebaikan, maka ia harus disampaikan dengan kejujuran intelektual, bukan sekadar menjadi saluran kekecewaan atau ambisi yang tak tersampaikan.
Prosedur Bukan Formalitas, tapi Pilar Akuntabilitas
Tata kelola pemerintahan yang baik tidak dibangun dalam semalam. Ia memerlukan sistem, prosedur, transparansi, dan partisipasi. Menunda demi kehati-hatian adalah bagian dari etika birokrasi. Tapi menuduh tanpa data adalah bentuk kemunduran berpikir.
Meritokrasi bukan jaminan hasil yang sempurna, tetapi ia adalah jalan terbaik yang kita miliki hari ini untuk memastikan bahwa jabatan publik tidak menjadi hak istimewa, tetapi amanah yang diberikan kepada yang layak.
Meritokrasi adalah kepentingan — kepentingan bersama untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, kuat, dan berpihak pada kualitas. []
Penulis: Ridwan, Pemuda Kuningan
