Ada lima dasar falsafah yang termaktub pada Piagam Jakarta yang diubah pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 silam. Lima butir nilai itulah yang oleh warga Negeri Seribu Pulau disebut Pancasila dan disepakati sebagai falsafah bernegara sampai sekarang. Nama Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta, kata Panca berarti lima, dan sila, berarti prinsip atau dasar.
Kelimanya menjelma seperti Sabdo Palon yang manunggal ke dalam seluruh urat nadi tanah dan manusia Bumi Pertiwi. Ajaran tentang Ketuhanan yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawarat/ Perwakilan; dan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia: menjadi arketipe masyarakat Indonesia.
Indonesia kini hendak menginjak usia 80 tahun, pun demikian dengan umur Pancasila, keberadaan yang cukup tua untuk sebuah nilai hayat. Sejatinya angka usia itu melekat sebagai sebuah karakter yang mencerminkan kepribadian yang matang dalam berpikir dan bertindak. Lika-liku ujian lebih-kurang selama delapan dasawarsa tersebut idealnya mampu menjadi doktrin rasional dan empiris sebagai motivasi teologis serta artha antroposentris dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di dalam rahim Pancasila terkandung semangat buhun Bhineka Tunggal Ika yang menjelma sebagai entitas fundamental idealisme Negara Indonesia. Sebagai homo religious, manusia Indonesia dalam mengimani Pancasila sepertinya mayoritas sepakat dengan yang disampaikan oleh Muhmmad bin Idris Asy-Syafii dalam kitab Al-Umm yakni iman adalah perkataan, amal, dan niat.
Pandangan demikian senafas dengan Ibnu Hazm Al-Andalusi Al-Qurthubi dalam kitab Al-Fashl fil Milal menyampaikan bahwa iman adalah meyakini dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan harus dilakukan secara bersamaan. Maka untuk mengartikulasikan Pancasila sebagai nilai-nilai keimanan seyogyanya perlu memperhatikan ketuntasan tiga aspek taksonomi Bloom.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai ide primer dalam berpikir, bersikap, dan bertindak probabilitas keberhasilan merealisasikannya akan memiliki signifikansi yang tinggi. Karenanya, pengawalan ide-ide Pancasila dan rencana geraknya harus dijabarkan secara normatif-integratif. Jangan sampai, seperti yang sering terlupakan, Pancasila hanya dijadikan nyanyian pelengkap dan bingkai lukisan usang tanpa betul-betul diimplementasikan secara utuh.
Tidaklah akan ada lagi kelompok yang kesusahan mendirikan rumah ibadah jika sila kesatu ditaati. Tidaklah akan ada lagi perselisihan akibat perbedaan jika sila kedua ditaati. Tidak akan muncul usulan memisahkan diri dari NKRI jika sila ketiga diperkuat. Dan, tidaklah akan ada yang mengangkangi demokrasi jika sila keempat diwujudkan. Begtu pun tidak akan ada anak-anak yang kesusahan untuk sekolah jika sila kelima dirasakan.
Mungkin Pancasila sudah terlalu rapuh dan lumrahnya usia 80 tahun yang memasuki usia renta dan dekat dengan naza’ ataukematian? Atau boleh jadi, manusia Indonesianya yang terlalu menganggap suci Pancasila sehingga lama tidak ditengok dan hanya menjadi pusaka di lemari tua? Bak panji yang dibiarkan kedinginan dan menunggu habis digerogoti rayap.
Sebagai sebuah nilai-nilai dasar perjuangan, Pancasila sejatinya harus senantiasa dilibatkan tanpa kompromi sejak dalam pikiran, perkataan, bahkan perbuatan. Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah iman akan betul-betul terjaga bukan hanya sekadar ada pada area gagasan, lisan, atau perbuatan melainkan kesemuanya. []
Penulis, Oman Rohman: Mahasiswa Universitas Islam Al-Ihya Kuningan

11 comments
Mantap abangkuuu
untuk mengamalkan Pancasila butuh komitmen tinggi cinta tanah air.
Mantap sangat menginspirasi
Shaap komandan
menginspirasi
menginspirasi kak
Makasih aa
P
Emote api
Jangan lupa like nya a
Ditunggu hehe