Kuningan, 12 Desember 2024.
Hujan deras turun sejak sore, membasahi jalanan SIliwangi yang biasanya riuh. Di sudut sebuah warung kopi kecil di Jalan Taman Kota, Damar duduk sendirian.
Kaos polos yang sudah mulai lusuh dan jaket parasut tipis yang basah terkena gerimis, menggambarkan hidupnya saat in, kering, rapuh, dan jauh dari kemapanan yang dulu pernah ia rasa.
Kopi hitam yang ia pesan sejak satu jam lalu tinggal setengah. Ia menatap kosong ke layar ponsel yang tergeletak di meja. Belum berani ia hubungi siapa pun di rumah.
Sudah dua bulan ia tinggal di kos kecil sekitaran Cijoho, menghindari pertengkaran dengan Lestari, istrinya, dan pandangan kecewa anak-anaknya.
Hidup mereka berubah drastis sejak usaha jasa laundry yang mereka kelola selama lima tahun terakhir kolaps. Awalnya karena pandemi, lalu terus tergerus utang operasional, hingga akhirnya pinjaman bank tak terbayar. Rumah mereka di Cirebon yang dulu dibangun dengan susah payah kini sedang dalam proses lelang.
Ponsel tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari Kirana, Putri Kedua mereka.
“Yah, ini Vano mau telpon…”
Hati Damar mencelos. Ia lama menatap pesan itu, sebelum akhirnya menekan tombol hijau.
Layar ponsel menampilkan wajah kecil yang ia rindukan siang malam. Vano, lima tahun, anak bungsunya, duduk bersila di lantai ruang tamu yang sekarang kosong karena sebagian besar perabot sudah dijual.
“Ayah!” seru Vano riang. “Ayah di mana? Vano kangen…”
Damar menggigit bibir. “Ayah juga kangen, Nak. Maaf ya, belum bisa pulang…”
“Ayah beli mobil-mobilan ya nanti. Yang bisa jalan sendiri!”
“Iya, nanti ya kalau Ayah udah kerja lagi…”
Tiba-tiba layar bergoyang. Muncul wajah Lestari. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya tampak lelah, tapi matanya tetap tegas. Di belakangnya, tembok rumah yang mulai retak jadi latar yang menyayat hati.
“Yah… pulanglah,” katanya pelan.
Damar terdiam. Suara itu, yang biasanya penuh amarah atau tangis, kini terdengar datar. Dingin, tapi bukan karena benci. Dingin karena lelah.
“Tega kamu ninggalin aku di rumah kayak gini?” lanjutnya, suara mulai bergetar. “Kamu pikir aku nggak capek? Aku juga takut, Dam. Tapi lebih takut lagi kalau kamu terus menjauh.”
Damar mengusap wajahnya. Air matanya jatuh tak tertahan.
“Aku malu, Tar… Kita gagal. Rumah ini akan hilang. Semua yang kita bangun… lenyap.”
Lestari menggeleng pelan. “Kita gak gagal. Kita jatuh. Tapi belum selesai. Kalaupun rumah ini harus hilang, kita ikhlasin. Tapi jangan saling tinggalkan. Kita bisa mulai lagi. Dari nol, dari mana pun. Tapi bareng-bareng.”
Hujan semakin deras. Di luar, lampu-lampu jalan mulai menyala, membias di kaca jendela warung tempat Damar duduk. Langit malam Kuningan seolah ikut menangis.
Damar menutup wajahnya dengan tangan. “Maaf, Tar… Aku pikir aku kuat jalan sendiri. Tapi ternyata enggak.”
“Aku nggak butuh kamu kuat. Aku cuma butuh kamu pulang…”
Layar ponsel terdiam sejenak. Suara Kirana terdengar, lembut dan dewasa dari balik layar, “Yah, kita semua nunggu Ayah. Kami masih punya Ayah… dan itu cukup.”
Malam itu, Damar berjalan pulang. Melewati gang-gang kecil yang basah, menembus hujan yang masih mengguyur Kuningan. Di dadanya, perasaan bersalah dan takut belum hilang, tapi ada sesuatu yang lebih kuat: tekad untuk kembali jadi kepala rumah tangga, bukan karena ia mampu menafkahi, tapi karena ia bersedia bertahan.
Panggilan dari Rumah (Bagian 2: Setelah Kehilangan)
Perbatasan Kuningan, Januari 2025
Angin pagi membawa debu ke pelataran rumah yang kini sudah tak lagi mereka miliki. Sebuah Plang bertuliskan “Dilelang oleh Bank” masih tertancap di depan pagar. Rumah itu kosong. Jendela-jendela tertutup, dan cat dinding mulai mengelupas karena lembap.
Damar berdiri memandangi rumah itu dari kejauhan. Di sebelahnya, Lestari menggandeng Vano yang tertidur di gendongannya, sementara Kirana berdiri mematung, matanya sembab tapi kakinya tetap menapak tanah.
“Sudah… kita ikhlaskan,” kata Lestari pelan.
Damar menunduk. Semalam ia tidur di rumah kontrakan kecil, tak sampai 5 km dari rumah lama. Kontrakan itu hanya satu kamar, dapur sempit, dan kamar mandi luar. Tapi entah kenapa, terasa lebih hangat. Karena mereka sekarang lengkap: tidak mewah, tapi utuh.
“Maaf ya, Kirana…” ucap Damar. “Ayah nggak bisa kasih kamu kamar sendiri lagi.”
Kirana tersenyum kecil. “Yang penting Ayah udah pulang.”
Hari-hari berikutnya penuh perjuangan. Damar bekerja serabutan sebagai sopir ojek online dan kuli bongkar muat di pasar. Lestari mulai menjual kue dan lauk rumahan lewat media sosial, dibantu Kirana yang pandai mengedit foto dan membuat caption menarik.
Setiap pagi, sebelum fajar, Lestari menyiapkan pesanan, sementara Damar mengantar Kirana ke sekolah sebelum mulai narik. Vano dititipkan di rumah tetangga sebelah yang masih saudara jauh, dibayar seikhlasnya.
Pada malam-malam yang sepi, saat lampu redup dan suara kipas tua berdengung, Damar dan Lestari sering duduk berdua di lantai, memandangi sisa uang harian dan merencanakan langkah selanjutnya.
“Kalau tabungan kita cukup, kita bisa mulai laundry skala kecil lagi. Sewa tempat. Beli mesin second-an dulu aja,” ujar Damar, menatap catatan pengeluaran.
Lestari mengangguk. “Tapi jangan terburu-buru. Yang penting kita stabil dulu.”
“Yang penting… jangan pisah lagi,” tambah Damar, sambil menggenggam tangan istrinya.
Maret 2025
Tiga bulan setelah rumah mereka dilelang, Damar dan Lestari membuka usaha laundry kecil di sebuah kios bekas warung mi instan, hanya seluas 3×4 meter. Plang kecil bertuliskan “Laundry Keluarga – Cepat & Bersih” dipasang di depan pintu. Kirana membuatkan logo sederhana di laptop pinjaman sekolah.
Mereka tidak lagi berharap cepat kaya. Mereka hanya ingin cukup. Cukup makan. Cukup tidur. Cukup waktu untuk bersama.
Dan setiap malam, setelah semua cucian disetrika, mereka akan duduk di depan kios, minum teh panas, menatap bulan.
“Rumah itu memang hilang, tapi rumah yang sesungguhnya ternyata bukan dinding dan atap,” bisik Lestari.
Damar tersenyum. “Rumah itu kamu dan anak-anak…”
Dan malam itu, tak ada tangis. Hanya pelukan. Dan harapan.
Panggilan dari Rumah (Bagian 3: Jalan Baru)
Kuningan, Agustus 2025
Udara pagi di Jalan Godean terasa hangat, meski matahari belum tinggi. Di sisi kiri jalan, deretan kios kecil mulai membuka pintunya. Di antara mereka, sebuah Ayahn nama sederhana berdiri tegak:
“Laundry Keluarga” – Bersih, Cepat, dan Amanah
Kios itu kini sudah lebih besar. Mereka menyewa dua ruang berdempetan—satu untuk pencucian dan penyetrikaan, satu lagi untuk ruang tunggu dan kasir.
Mesin cuci tambahan dibeli dari hasil pinjaman koperasi, dan kini mereka mempekerjakan dua orang tetangga yang sebelumnya juga kesulitan ekonomi.
Kirana, yang kini duduk di kelas dua SMA, menjadi admin media sosial bisnis mereka. Ia membuat akun Instagram, TikTok, dan mulai menerima pesanan online. Dari hanya 3 pelanggan tetap, kini mereka melayani lebih dari 50 rumah tangga dan beberapa kos mahasiswa.
Namun kehidupan tidak berhenti memberi ujian.
Suatu sore, Damar duduk di emperan kios sambil memperhatikan langit yang mulai merah. Di tangannya, ia menggenggam amplop putih dari sebuah perusahaan logistik besar. Isinya: tawaran kerja sebagai sopir truk rute Jawa-Bali. Gaji tetap. Asuransi. Tapi ia harus pergi selama 12 hari setiap bulan.
“Aku nggak tahu, Tar… Apa aku ambil? Lumayan besar gajinya. Bisa buat nyicil rumah kecil.”
Lestari tak langsung menjawab. Ia sedang melipat pakaian yang baru disetrika. “Kalau kamu pergi, siapa yang bantu aku di sini? Usaha ini mulai ramai.”
“Aku bisa bantu malam. Aku kerja siang. Lagipula, usaha ini bisa kamu jalankan sendiri, kan?”
Lestari berhenti melipat. Ia menatap suaminya, bukan dengan marah, tapi dengan luka lama yang kembali mengintip.
“Dulu kamu pergi juga karena alasan ‘mau nyari uang’. Tapi yang kamu bawa pulang malah jarak dan diam. Sekarang aku tanya: kamu mau bangun rumah, atau kamu mau tetap tinggal di rumah?”
Damar tertunduk. Kata-kata itu seperti palu yang memukul pelan, tapi dalam.
“Aku… cuma pengen kita punya rumah lagi, Tar. Aku cuma nggak mau anak-anak terus tinggal di kontrakan sempit.”
Lestari berjalan mendekat, duduk di sampingnya. “Kita sudah punya rumah. Lihat…” Ia menunjuk ke dalam, ke tawa Vano yang sedang belajar mengeja bersama Kirana di dalam kios kecil yang hangat.
“Rumah itu… sudah kembali. Jangan cari yang lain lalu lupa yang ini.”
Damar menarik napas dalam. Amplop itu ia lipat pelan, dan dimasukkan ke saku. Malam itu, ia menolak tawaran kerja.
Oktober 2025
Mereka kini menyewa rumah kecil di pinggiran Kuningan Tak besar, tapi punya halaman dan dua kamar. Laundry mereka tumbuh pelan-pelan. Lestari sesekali ikut bazar UMKM dan membawa kiriman makanan ringan buatan sendiri. Kirana lulus dengan nilai terbaik di sekolah, dan mendapatkan beasiswa kuliah di UGM.
Suatu malam, saat Vano tertidur di sofa dan Kirana sedang mengerjakan tugas kuliah, Damar dan Lestari duduk berdua di teras.
“Kita pernah punya rumah megah, lalu hilang,” kata Damar.
Lestari menatap langit. “Tapi dari kehilangan itu, kita nemuin rumah yang lebih kokoh.”
“Karena kita tinggal di dalamnya, bareng-bareng.”
Damar meraih tangan istrinya, menggenggam erat. “Terima kasih sudah nggak ninggalin aku waktu aku sendiri aja yang milih lari.”
Lestari tersenyum tipis. “Nggak usah diucapkan. Tunjukin aja… tiap hari.”
Epilog – Rumah yang Kembali
Kuningan, Tahun 2040
Hari itu cerah, langit biru tak berawan. Di halaman rumah sederhana berlantai dua yang dikelilingi tanaman hias dan pohon kelengkeng, sebuah tenda kecil berdiri. Ada kursi-kursi putih berjejer, meja dengan taplak renda, dan Ayahn ucapan bertuliskan:
“Selamat & Sukses: Vano Pradipta, S.T., M.Eng – Wisuda & Pulang Kampung”
Vano berdiri di depan cermin kamar masa kecilnya, mengenakan batik abu-abu tua. Usianya 20-an akhir, tinggi semampai, dan wajahnya membawa jejak ayahnya, tenang tapi penuh tekad.
Ia baru saja menyelesaikan studi magisternya di Jepang, dan hari ini adalah hari pertama ia kembali benar-benar “tinggal” di rumah setelah bertahun-tahun merantau.
Di ruang tamu, Lestari kini berambut putih sebagian, sedang menata piring-piring untuk tamu yang sebentar lagi datang. Kirana datang dari Jakarta, membawa suami dan anak kecil yang langsung lari memeluk Lestari saat masuk rumah.
Damar? Ia duduk di teras, mengenakan baju koko putih dan peci, senyum bangga tak henti tergambar di wajahnya.
Vano mendekatinya.
“Pak…” sapanya, duduk di samping ayahnya.
“Lihat ini…” kata Damar pelan. “Dulu rumah kita nggak punya halaman. Sekarang cucumu bisa lari-lari sampai belakang.”
Vano tertawa kecil. “Aku masih ingat waktu rumah kita dulu kosong. Diambil bank. Aku kecil, masih nggak ngerti apa-apa. Tapi sekarang aku sadar… waktu itu yang paling penting bukan kehilangan rumah, tapi cara Bapak dan Ibu saling menggenggam tangan, meski nggak punya apa-apa lagi.”
Damar terdiam lama. “Aku pernah lari, Van. Karena aku pikir laki-laki harus kuat sendiri. Tapi ternyata… laki-laki yang kuat itu bukan yang nggak pernah jatuh. Tapi yang mau pulang waktu dia tersesat.”
Vano menatap ayahnya, mata mereka saling menahan haru.
“Rumah itu bukan bangunan, Pak,” bisik Vano. “Rumah itu hati yang saling menunggu. Dan aku tumbuh di dalam rumah yang paling kokoh di dunia.”
Di dalam, Lestari memanggil. Tamu-tamu mulai datang. Ada tetangga lama, karyawan laundry yang dulu ikut tumbuh bersama mereka, dan anak-anak muda yang jadi murid Lestari dalam pelatihan UMKM.
Sore itu, mereka makan bersama di bawah pohon, tertawa, bercerita, dan mengenang masa lalu bukan dengan luka—tapi dengan rasa syukur.
Dari reruntuhan, mereka membangun rumah. Dan rumah itu kini berdiri bukan hanya di tanah, tapi di hati anak-anak mereka.
Hanya Fiksi Sembari Ngopi By Bengpri
