Al-Quran merupakan pedoman hidup umat Islam. Kitab ini adalah salah satu yang diamanatkan oleh Rasulallah Saw. Siapa saja yang berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah maka akan selamat dunia akhirat. Karena itu, membaca al-Qur’an sangat diajurkan. Tidak hanya membacanya, mendengarnya merupakan ibadah dan bernilai pahala. Membaca al-Qur’an juga merupakan sebaik-baik dzikir seorang muslim (Oktarina, 2020).
Namun, di Indonesia sebagai negara dengan populasi umat Islam terbanyak, ternyata angka buta huruf al-Qur’an masih sangat tinggi. Berdasarkan data dari Dewan Masjid Indonesia (DMI), pada tahun 2023 tercatat angka buta huruf al-Qur’an sebanyak 72%. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh tim Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta pada tahun 2023, persentase buta huruf al-Qur’an di Indonesia berkisar antara 58,57% hingga 65%.
Indeks literasi al-Qur’an Indonesia pada tahun yang sama mencapai angka 66,038%, dengan rincian 61,51% dapat mengidentifikasi huruf dan harakat al-Qur’an, 59,92% dapat membaca susunan huruf menjadi kata, 48,96% dapat membaca ayat dengan lancar, dan 44,57% dapat membaca al-Qur’an dengan lancar sesuai dengan ilmu tajwid dan tanpa kesalahan. Berdasarkan hasil dari survei tersebut, diketahui hanya 38,49% masyarakat muslim Indonesia yang memiliki literasi al-Qur’an dan baik pada kompetensi membaca (Daqu, 2023).
Selain itu, hasil riset Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) menunjukkan bahwa 65% muslim di Indonesia mengalami buta huruf al-Qur’an. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018-2019, angka buta huruf al-Qur’an di Indonesia mencapai 53,57%, tahun 2020-2021 sebesar 65%, dan tahun 2022-2023 sebesar 72,25%. (Khoirunnissa, 2023).
Melihat data di atas, kita bisa mengetahui bahwa angka buta huruf al-Qur’an di Indonesia terbilang tinggi. Lebih dari setengah penduduk muslim di Indonesia belum bisa membaca al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca al-Qur’an di Indonesia sangat memprihatinkan. Sedangkan al-Qur’an sebagai sumber dari segala ajaran Islam yang memberikan rahmat dan hidayah bagi manusia serta petunjuk dalam kehidupan. Bagaimana akan memahami petunjuk, jika membacanya saja tidak bisa. Untuk itu, al-Qur’an hendaknya dikenalkan oleh orang tua sedini mungkin kepada anak.
Peran Orang Tua mengenalkan al-Qur’an sejak Dini
Kemampuan anak dalam membaca al-Qur’an dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal (Suryani, 2022). Faktor internal seperti minat, bakat, kecerdasan, dan dorongan kuat dari dalam diri anak sangat berperan terhadap kemauan anak untuk membaca al-Qur’an. Di sisi lain, faktor eksternal meliputi pengaruh dari lingkungan, guru, sekolah, teman sebaya, dan lain-lain.
Orang tua merupakan faktor eksternal yang sangat penting karena mereka merupakan pengaruh pertama dalam perkembangan anak, termasuk dalam kemampuan membaca al-Qur’an. Jika orang tua memberikan dorongan dan motivasi kepada anak untuk membaca al-Qur’an, anak akan mendapatkan rasa percaya diri, keinginan, dan semangat yang kuat untuk melakukannya.
Oleh karena itu, penting untuk membimbing anak membaca al-Qur’an sejak usia dini, karena orang tua perlu memberikan 4 perhatian khusus terhadap kemampuan anak-anak mereka dalam membaca al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid. Pengenalan al-Qur’an kepada anak adalah suatu tindakan baik yang tidak hanya selesai dilakukan di masa kanak-kanak saja, tetapi dapat dilakukan sampai masa remaja hingga dewasa. Menurut Desmita (2014) periode masa remaja adalah 12 sampai 21 tahun.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja atau masa pubertas dapat dipahami sebagai baligh. Dalam Islam, muslim yang baligh diartikan sebagai orang yang usianya telah mencapai batasan tertentu. Menurut Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami, baligh ditandai oleh tiga hal yaitu sempurnanya umur lima belas tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, keluarnya sperma setelah berumur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, dan menstruasi atau haid setelah berumur sembilan tahun bagi anak perempuan” (NU Online, 2017).
Pola Asuh Orang Tua
Dari jenis-jenis pola asuh yang banyak dikemukakan, sediktinya ada empat macam pola asuh yang umum terjadi. Di antaranya adalah pola asuh otoriter, otoritatif, pelopor, dan laissez faire. Pola asuh otoriter (authoritarian) merupakan gaya dalam pengasuhan yang ditandai dengan penerapan peraturan yang ketat dan menggunakan kekuatan atau paksaan untuk memastikan ketaatan anak. Pola asuh otoritatif (authoritative) mengacu pada gaya pengasuhan yang seimbang antara memberikan kendali dan otonomi kepada anak. Pola asuh pelopor yaitu orang tua berperan sebagai pemimpin yang memimpin, memberikan contoh, dan memotivasi anak-anak mereka. dan pola asuh laissez-faire yaitu gaya pengasuhan yang minim aturan. Gaya pengasuhan ini hampir sama dengan permisif.
Berdasarkan hasil penelitian, analisa dan interpretasi yang telah dilakukan maka ditemukan bahwa pola asuh, tertama pelopor berada pada persentase paling besar yaitu 39,33% dalam membantu siswa belajar al-Quran. Di SMAN 1 Jalaksana, tempat penelitian ini, kemampuan membaca al-Qur’an peserta didik kelas X SMA Negeri 1 Jalaksana berada pada kategori tinggi dengan persentase 49% yang diwakili oleh 73 orang responden sejalan dengan pola asuh pelopor. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemampuan membaca al-Qur’an peserta didik kelas X SMA Negeri 1 Jalaksana. []
Tim Penulis: Alinda Rismaya, Sopandi, Euis Nur Istiqomah
